Mohon tunggu...
Nodi Herhana
Nodi Herhana Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Teacher of Civic Education

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila di Pinggiran Negeri

2 Agustus 2018   16:33 Diperbarui: 2 Agustus 2018   16:41 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sedikit banyak aku akan menceritakan pengalamanku selama mengabdi di daerah pelosok negeri tentang Pancasila. Setidaknya ada dua sisi yang harus kita pahami ketika berbicara tentang Pancasila, yaitu ranah akademis dan ranah praktis. Ranah akademis yaitu berkaitan dengan hafal tidaknya bunyi Pancasila, tahu tidaknya sejarah Pancasila, paham tidaknya apa maunya dari Pancasila. Sedangkan ranah praktis yaitu berkaitan dengan tingkah laku sehari-sehari di masyarakat. Sampai disini sudah maksud ya guys? Oke lanjut.

Kalau bicara pinggiran negeri tentu akan berfikir sebaliknya yaitu pusat/tengah/ibu kota negeri. Ada semacam pandangan di masyarakat bahwa orang kota lebih memahami Pancasila dibanding orang di pelosok, benarkah demikian? Apakah dengan minimnya pengetahuan masyarakat dipelosok berarti tidak Pancasilais? Nanti kita bahas.

Terjadi kegalauan teknologi, dimana masyarakat di perkotaan memiliki segala akses untuk mengetahui dunia luar didalam genggamannya sehingga paham dan ideologi apapun akan masuk kedalam otaknya tanpa mampu menyaring secara cermat mana yang sesuai Pancasila mana yang tidak. 

Disisi lain masyarakat di pinggiran negeri masih terisolasi dengan alam dan hanya sedikit teknologi yang baru masuk ditengah-tengah mereka sehingga mereka tidak mendapatkan akses yang cukup untuk sekedar mendapatkan informasi tentang Pancasila. Dua hal yang ironi bukan? Setidaknya saya menjadi saksi hidup dipedalaman Flores, anak-anak untuk mendapatkan ilmu tentang Pancasila adalah hanya dari guru PPKn-nya, jangankan untuk mengakses internet, sinyal seluler dan listrikpun masih minim sekali.

Kembali ke dua ranah (akademis dan praktis) untuk menjawab pertanyaan diatas. Pertaanyaan pertama apakah orang kota lebih memahami Pancasila dibanding orang di pelosok? Dengan segala akses internet dan sumber daya teknologi memang orang kota "harus" lebih paham tentang Pancasila dibanding orang di pelosok. Saya dulu pernah bertanya bunyi Pancasila kepada murid SMP di Manggarai, berkali-kali tanya dan diajari tetapi tidak juga hafal. Artinya diranah akademis orang kota memang lebih unggul. 

Pertanyaan kedua Apakah dengan minimnya pengetahuan masyarakat dipelosok berarti tidak Pancasilais? Tidak juga demikian bahkan mereka sudah melaksanakan nilai-nilai Pancasila tanpa menyadarinya. Kita ingat perkataan Soekarno ketika pidato mengemukakan gagasan Pancasila bahwa sebenarnya nilai-nilai Pancasila telah hidup dan bersemayam berabad-abad yang lalu pada masyarakat Indonesia, sehingga Pancasila merupakan puncak-puncak kebudayaan yang terpendam itu.

Begini, di Manggarai walaupun saya minoritas di desa yang hampir seluruhnya Katolik, nyatanya mereka sangat menghormati saya sebagai Muslim. Ketika saya akan melakukan ibadah sholat, mereka dengan respek mecarikan air wudhu dan tidak ramai ketika sedang sholat. 

Begitu juga makanan, mereka memisahkan antara alat makan saya dengan mereka karena mereka tahu bahwa saya tidak akan memakan alat makan yang sebelumnya dipakai untuk makanan haram (daging babi dan anjing), bahkan ketika memotong hewan (ayam, kambing, bahkan sapi) diserahkan kepada saya. 

Itu artinya mereka sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan sila Ketuhanan walau mungkin mereka tak menyadarinya. Sedangkan di kota kita lihat saat-saat ini, dimana Agama dijadikan alat bagi oknum tertentu untuk menggalang dukungan publik. Yang salah oknum tersebut, tetapi dampaknya membuat keresahan pada masyarakat Indonesia.

Lagi, budaya makan misalnya. Di Manggarai ada budaya kebersamaan tentang makan yang luar biasa. Setiap kali makan pagi, makan siang, dan makan malam, mereka akan makan bersama-sama satu keluarga dan mengajak siapapun yang ketika jam makan ada disekitar situ. Setidaknya satu tahun sudah saya merasakan kebersamaan itu dikeluarga kecil disana. 

Pernah suatu saat saya terlambat pulang dari sekolah, ternyata dirumah masih ditunggu sehingga kadang saya tidak enak sendiri kalau pulang telat. Coba kita lihat sendiri dikeluarga kita masing-masing, masihkah budaya itu bisa diterapkan? Saya yakin hanya sedikit sekali di perkotaan yang bisa menerapkan makna dari sila Persatuan ini dilingkup keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun