Kenapa milenial yang menangkal bibit radikal? Pertanyaan ini mungkin terbesit dalam benak kita semua. Berbagai studi menyatakan, generasi milinial ini banyak menjadi target kelompok radikal. Itulah kenapa banyak propaganda radikalisme terus menyebar di media sosial. Dan karena itu pula, banyak anak muda yang terpapar bibit radikal melalui dunia maya. Dan tidak sedikit anak muda yang terpapar tersebut, menjadi pribadi yang aktif menyebarkan ujaran kebencian, melakukan persekusi, menebar provokasi, bahkan ada juga yang berani melakukan aksi terorisme.
Memang sangat ironis. Anak muda yang semestinya bisa menjadi generasi penerus, justru salah pergaulan dan masuk sarang kelompok radikal. Dan pekan kemarin, baru saja bom meledak di salah satu kantor kepolisian. Ironis. Seseorang menaruh bom dalam tubuhnya, dan meledakkan di tengah kerumunan polisi. Apa yang salah dengan generasi muda kita, sampai akhirnya memilih menjadi radikal? Memilih melakukan persekusi, menebar kebencian ataupun menebar teror?
Untuk bisa menjawab pertanyaan diatas, tentu harus dilihat dari berbagai aspek. Jika melihat kasus peledakan bom di Surabaya misalnya, keberadaan anak-anak yang menjadi pelaku, tak bisa dilepaskan dari peran orang tuanya. Anak-anak secara sengaja didoktrin pemahaman yang salah dan dipaksa untuk mengikuti saran orang tuanya.
Namun, ada juga remaja yang menjadi pelaku peledakan bom, bukan karena orang tuanya. Mereka terpapar radikalisme melalui konten-konten radikal di dunia maya. Tidak sedikit juga yang terpapar melalui organisasi ekstra kampus. Banyak cara yang dilakukan oleh kelompok radikal, untuk bisa menebar propaganda radikalisme. Apalagi di era milenial seperti sekarang ini. Segala informasi bisa bergerak begitu cepat. Masalanya, pergerakan informasi yang cepat tersebut terkadang tidak dimbangi dengan literasi yang kuat.
Mari kita lihat data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pelaku terorisme sejauh ini masih didominasi oleh remaja usia 21-30 tahun yang mencapai 47,3 persen. Setelah itu didominasi usia 31-40 tahun yang mencapai 29,1 persen. Pelaku diatas usia 40 tahun dan dibawah 21 tahun sebesar 11,8 persen. Jika dilihat dari pendidikan, pelaku terbesar didominasi dengan pendidikan SMU, sebesar 63,3 persen.
Data ini menunjukkan bahwa, remaja memang potensial menjadi korban dan dijadikan korban. Lalu, apakah kita hanya tinggal diam? Apakah kita rela membiarkan generasi penerus ini menjadi penerus dari kelompok radikal? Tentu saja tidak. Generasi milenial harus menjadi penangkal, tidak boleh menjadi radikal. Radikal dalam tataran gagasan yang positif, tentu tidak masalah.
Namun radikal yang selalu menebar kebencian, menebar persekusi, menebar teror, dan selalu mengkafirkan orang yang berbeda, itu yang bahaya. Mari kita rangkul keberagaman Indonesia. Dan semua itu bisa dilakukan, jika generasi muda bersatu, berkomitmen untuk menjaga Indonesia dari pengaruh negative, termasuk propaganda radikalisme kelompok radikal. Salam.