Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemuda Harus Kritis Agar Tak Mudah Terpapar Radikalisme

31 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 31 Oktober 2019   07:17 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi Muda - suaradewata.com

Dalam memperingati hari Sumpah Pemuda kemarin, banyak kelompok atau organisasi anak muda yang menyatakan komitmennya untuk melawan radikalisme dan terorisme. Hal ini sebagai sikap tegas anak muda, yang menolak radikalisme dan terorisme. Apalagiu berdasarkan data kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), angka anak muda yang terpapar paham radikalisme dan terorisme terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan data BNPT, jika dilihat dari latar belakang pendidikan, secara persentase, pelaku teroris yang berpendidikan SMA mencapai 63,3 persen, berpendidikan perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, SD 3,6 persen dan tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen. Jika dilihat dari sisi usia, pelaku terorisme didominasi oleh anak muda usia 21-30 tahun, sebesar 47,3 persen. Disusul usia 31-40 tahun mencapai 29,1 persen. Sisanya sebesar 11,8 persen, didominasi usia dibawah 21 tahun atau diatas 40 tahun.

Kenapa anak muda bisa mudah terpapar dan banyak menjadi korban? Tentu ada pergeseran pola rekrutmen, pola propaganda dan lain-lainnya. Dulu, radikalisme berkembang dari lingkungan terdekat. Bisa melalui kelompok atau keluarga terdekat. Dari kelompok kecil, lalu secara tertutup mereka terus mengembangkan diri. Itulah kenapa, membongkar terorisme era itu agak sulit, dibandingkan di era sekarang. Kok bisa? Karena jejak para kelompok radikal ini terus tercium di media sosial. Mereka secara sengaja menyebarkan aktifitas terror di media sosial. Mereka sadar betul bahwa media sosial punya potensi yang sangat besar. Wajar jika pimpinan ISIS ketika itu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk pulang ke negaranya masing-masing dan menguasa media maya.

Sejak saat itulah, aktifitas teror terus terjadi di dunia maya. Sejak saat itulah ujaran kebencian dan hoaks terus bermunculan di media sosial. Dan ironisnya, ketika memasuki tahun politik kemarin, kelompok radikal ini berhasil menyusup ke oknum politik, bekerja sama menjatuhkan elektabilitas lawan dengan menebar kebencian. Bahkan, tak jarang para elit melontarkan statement yang melahirkan 'kegaduhan' baru. Ketika hal ini yang terjadi, kelompok radikal akan begitu mudah menyebarkan propaganda radikalisme dan provokasi. Muncullah kemudian pelaku teror yang berasal dari kalangan muda.

Kalangan muda harus bersikap kritis, harus membekali dirinya literasi yang kuat. Agar bisa membedakan mana yang benar mana yang hoaks. Mana yang valid mana yang tidak. Budaya cek ricek juga harus terus dilakukan, agar kita bisa mendapatkan informasi yang benar. Selain itu, anak muda yang masih terbiasa melakukan sharing tanpa memastikan saring terlebih dulu, sebaiknya mulai dikurangi dan dihentikan. Karena aktifitas tersebut justru mendorong penyebaran radikalisme berkembang pesat. Ketika anak muda kritis, paham radikalisme akan sulit masuk atau terpapar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun