Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada Tempat Untuk Isu SARA di Dunia Maya

30 Januari 2018   21:54 Diperbarui: 30 Januari 2018   21:58 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media Sosial adalah media yang dapat direspon oleh pihak lain dengan cepat. Dengan kata lain media social bersifat interaktif dimana khalayak bisa memberi umpan balik secara langsung pada masing-masing orang yang mengemukakan pendapat di media social.

Dalam negara demokrasi, sangat wajar adanya perbedaan pendapat dan pandangan ketika komunikasi politik di tengah masyarakat berlangsung. Respon itu bisa bersifat positif maupun negative.

Hanya saja, selama tiga tahun terakhir ini kita sering menemui  ujaran di media social yang bersifat menebar kebencian atau isu-isu yang bersifat Suku Agama Ras dan Antar Golongan. Kita tahu bahwa isu SARA adalah isu sensitive di negara kita.

Padahal kita harus sadar bahwa negara kita terdiri dari 17.5 ribu pulau besar dan kecil. Banyaknya pulau itu juga diikuti oleh beragamnya etnis karena dalam sejarahnya masing-masing pulau itu didatangi oleh orang asing. Mulai dari Portugis , Belanda (eropa) ada juga India, China dan Timur Tengah (Asia), sampai Afrika. Kita ingat bahwa kita sekian abad yang lalu sudah punya hubungan baik dengan Madagaskar, bahkan beberapa bahasa Indonesia dan budaya kita mereka adaptasi.

Perkunjungan orang asing dan kegiatan ekonomi yang mereka lakukan membawa pengaruh yang tidak sedikit. Misalnya pada agama. Orang-orang dari jazirah Arab melakukan kegiatan ekonomi dengan menyebarkan agama Islam. Cara yang mereka perlihatkan ke pribumi sangat bersahabat sehingga mudah diterima oleh masyarakat local kita. Arab meyebar di beberapa pulau. Begitu juga Kristen dan Katolik  yang dibawa oleh Portugis dan beberapa misionaris ke beberapa pulau seperti Ambon, beberapa titik di Sulawesi seperti Toraja, beberapa daerah di Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Ditilik dari kesukuan, beberapa pendatang seperti China  yang datang juga dengan maksud dagang, beralkuturasi (berbaur) dengan masyarakat setempat. Seperti China di pesisir jawa juga mempengaruhi budaya jawa pesisir, semisal batik pesisir. Juga China yang masuk di Sumatera (Medan) dan Kalimantan (Pontianak) mereka berbaur dengan masyarakat local.

Jadi dalam sejarah Indonesia, kita tak lepas dari budaya luar yang masuk dan beradaptasi dengan kita. Dan di beberapa tempat menghasilkan akulturasi agama, etnis dan suku bangsa. Karena itu, karena sejarah dan letak geografis kita, kita juga harus menghargai perbedaan --perbedaan itu.

Kita sekarang hidup di era teknologi, di mana media social yang bersifat responsive sangat cepat membakar emosi. Jadi jika kita menebarkan sentimen-sentimen agama maka yang akan kita terima adalah hal yang berbau kebencian terhadap agama tertentu ,  atau suku tertentu, atau ras tertentu.

Karena itu, atas nama demokrasi dan sejarah, ada baiknya kita meninggalkan sentimen-sentimen yang berbau SARA. Terutama yang kita tulis di media social kita. Dunia maya atau media social sejatinya diciptakan untuk hal baik dan bukan untuk saling menghujat karena berbeda keyakinan, suku dan etnis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun