The Guardian hingga Nikkei menyoroti realita rumah subsidi Indonesia. Murah dan cepat dibangun, tapi benarkah rakyat hidup lebih baik? Kenapa dunia ikut mempertanyakan?
Kualitas Rumah Subsidi dan Kritik Internasional yang Mengemuka
Program rumah subsidi di Indonesia telah lama menjadi simbol komitmen negara dalam menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Namun, laporan investigatif dari media asing seperti The Guardian, Nikkei Asia, hingga DW mulai mempersoalkan kualitas dan keberlanjutan dari proyek-proyek ini.Â
Dalam laporan tersebut, muncul temuan rumah yang retak dalam setahun, atap bocor, serta fasilitas umum yang tak tersedia setelah serah terima kunci.
Dari luar, rumah subsidi terlihat sebagai solusi cepat dan murah. Tapi ketika penghuni harus membayar ongkos tambahan untuk renovasi, akses air bersih, bahkan keamanan, muncul pertanyaan besar: apakah rumah subsidi sungguh layak, atau sekadar memenuhi kuota pembangunan?Â
Kritik internasional tak menyoal niat baik pemerintah, melainkan menggarisbawahi celah dalam pelaksanaan---mulai dari pengawasan proyek hingga kualitas pengembang.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran persepsi global: dari mengagumi angka pembangunan, menjadi mengkritisi kualitas hidup yang sesungguhnya tercipta dari pembangunan itu sendiri.
Jauh dari Kota, Dekat ke Ketimpangan: Masalah Lokasi yang Diabaikan
Salah satu masalah utama dari program rumah subsidi adalah lokasinya yang sering kali berada jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan layanan dasar masyarakat.
Rumah murah memang dibangun di lahan yang lebih terjangkau, namun konsekuensinya adalah akses terbatas ke transportasi umum, rumah sakit, sekolah, dan tempat kerja.Â
Dalam konteks global, hal ini disebut sebagai bentuk urbanisasi paksa yang justru mendorong marginalisasi baru di kawasan pinggiran.
Ketika warga harus bangun jam 4 pagi untuk menempuh perjalanan ke pusat kota atau membayar ongkos transportasi yang lebih mahal dari cicilan rumah itu sendiri, maka rumah subsidi tidak lagi menjadi penyokong kesejahteraan, melainkan sumber stres harian.Â
Ini menunjukkan bagaimana solusi jangka pendek dapat menciptakan masalah jangka panjang---baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.