Punya rumah dengan cicilan KPR 15 tahun terdengar ideal, tapi benarkah lebih logis ketimbang sewa kos Rp3 juta per bulan? Artikel ini mengupas sisi emosional, finansial, dan gaya hidup dari dua pilihan hidup yang sering bikin galau generasi produktif masa kini.
Biaya Hidup Naik, KPR Bikin Ragu atau Solusi?
"Orang-orang tidak takut berutang, mereka takut tidak bisa hidup saat mencicilnya."
Ketika harga rumah terus meroket, banyak generasi muda bingung memilih antara cicilan rumah jangka panjang atau fleksibilitas sewa bulanan.
Cicilan KPR rata-rata untuk rumah tapak kini berkisar Rp3--6 juta per bulan, tergantung lokasi, tenor, dan DP yang disanggupi.
Sementara sewa kos modern dengan fasilitas lengkap hanya butuh Rp2--3 juta, tanpa pusing memikirkan bunga, perawatan rumah, dan pajak.
Namun, membeli rumah dianggap investasi jangka panjang yang aman, terutama jika ditempati sendiri atau disewakan ulang.
Lalu siapa yang benar-benar cocok ambil KPR? Umumnya pasangan muda dengan penghasilan stabil dan rencana tinggal jangka panjang.
Sedangkan mereka yang berpindah kerja, belum menikah, atau berjiwa digital nomad lebih rasional memilih sewa kos yang fleksibel.
Jadi, apakah membeli rumah dengan KPR adalah keharusan, atau hanya tekanan sosial bertopeng investasi?
Antara Kepemilikan dan Kebebasan: Mana yang Lebih Bernilai?
"Memiliki rumah tidak selalu membuatmu merdeka, kadang justru membuatmu terikat seumur hidup."
Pertanyaan logis muncul: mengapa harus berutang ratusan juta demi rumah, jika sewa membuat hidup lebih bebas?