Jika suatu hari aku ditunjuk jadi komite sekolah, mungkin aku akan diam sejenak---bukan karena bingung harus mulai dari mana, tapi karena aku tahu betapa besar luka dan harapan yang tersembunyi di balik seragam anak-anak setiap pagi.
Di mata mereka, sekolah bisa jadi tempat paling menyenangkan, tapi juga paling menyesakkan. Ada yang datang dengan perut kosong, tapi masih sempat tersenyum. Ada yang duduk di bangku kelas dengan tubuh lelah karena semalam harus bantu orang tuanya bekerja. Maka tugasku, jika dipercayakan posisi itu, bukan sekadar membuat keputusan administratif, melainkan memastikan bahwa setiap anak merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Menjadi Komite Bukan Jabatan, Tapi Amanah
Jika aku ditunjuk jadi komite sekolah, aku tak akan datang dengan jas rapi dan bahasa kaku. Aku akan datang membawa keresahan dan cinta. Sebab bagiku, menjadi komite bukan soal jabatan, tapi amanah. Aku ingin hadir bukan sebagai pejabat sekolah, tapi sebagai perpanjangan hati orang tua dan suara anak-anak. Mereka yang tiap pagi berlari ke gerbang sekolah, dengan semangat yang kadang dipadamkan oleh sistem yang terlalu sibuk mengejar angka dan absen.
Aku ingin memastikan bahwa sekolah bukan hanya tempat mencetak nilai, tapi juga ruang untuk menemukan makna. Bukan hanya tempat hafalan rumus, tapi juga tempat anak-anak belajar memahami dunia dan dirinya sendiri. Karena aku tahu, terlalu banyak anak yang tak percaya pada dirinya karena nilai ulangan, bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistemnya lupa mendengarkan.
Mendengar, Memahami, dan Mengubah dari Hati
Menjadi komite sekolah, aku ingin menjadi pendengar pertama dan penyambung lidah mereka yang terpinggirkan. Aku ingin tahu cerita para guru yang mengajar dengan semangat meski gajinya kecil. Aku ingin mendengar keluhan orang tua yang memilih membayar SPP daripada memperbaiki genteng rumah. Dan aku ingin memeluk mimpi siswa-siswi yang lebih sibuk bertahan hidup daripada belajar.
Setiap keputusan dalam rapat komite harus punya cerita manusia di baliknya. Saat membicarakan iuran, aku ingin tahu siapa yang harus menggadaikan motor agar anaknya tak dikeluarkan. Saat membahas program sekolah, aku ingin tahu apakah anak-anak di dusun sana bisa ikut, atau hanya jadi penonton. Empati harus jadi kompas. Karena tanpa itu, sekolah hanya jadi pabrik, bukan taman bermain gagasan.
Sekolah Harus Jadi Tempat Anak-anak Bahagia
Jika aku ditunjuk jadi komite, aku ingin menjadikan sekolah tempat anak-anak pulang dengan tawa, bukan air mata. Aku ingin ada ruang baca di setiap sudut, bukan sekadar untuk buku, tapi tempat menulis mimpi. Aku ingin anak-anak menulis surat tentang masa depan mereka, dan sekolah membacanya dengan sungguh-sungguh.
Aku ingin membuat program mentoring dari para alumni. Biar siswa tahu bahwa yang dulu duduk di bangku tua itu, kini jadi dokter, arsitek, guru, atau pengusaha---dan mereka juga bisa. Sekolah harus menginspirasi, bukan menakuti. Harus merangkul, bukan menghakimi. Harus menguatkan, bukan memperlemah.
Karena pendidikan adalah tentang masa depan. Dan masa depan harus dimulai dengan hati yang percaya: bahwa siapa pun, dari keluarga mana pun, punya hak untuk tumbuh dan bermimpi.Â
Jika aku ditunjuk jadi komite sekolah, maka aku akan berjuang agar tidak ada satu pun anak yang merasa asing di ruang kelasnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI