"Siapa sangka, sepuluh tahun digaji dolar tak mampu menyelamatkanku dari nasi bungkus dan hutang warung."
Kemilau Dolar di Tengah Laut
Sepuluh tahun di kapal pesiar, hidup bak tak berpijak di bumi. Gaji dalam dolar, keliling dunia, dan tak perlu pikir uang makan atau tempat tinggal. Itulah masa lalu Toni, 48 tahun, mantan teknisi kapal pesiar. Saat masih berlayar, setiap bulan rekeningnya gemuk. Tapi kini, saat tak ada lagi suara mesin kapal yang harus ia betulkan, Toni harus memutar otak hanya untuk membeli beras.
Toni bukan satu-satunya. Banyak pekerja migran yang bekerja di sektor maritim atau luar negeri tergiur gaji besar tapi lupa menyiapkan satu hal penting: masa pensiun. Dalam gemerlap kehidupan sementara itu, siapa yang berpikir soal usia senja?
Saat Mesin Diam, Hidup pun Terhenti
Setelah resign dari kapal karena faktor usia dan kesehatan, Toni kembali ke kampungnya di Banyuwangi. Tak ada pekerjaan tetap, tak ada jaminan kesehatan, dan lebih menyakitkan: tak ada tabungan berarti. Semua gaji habis untuk gaya hidup, membantu keluarga besar, hingga investasi gagal.
Laporan BPS tahun 2024 menyebutkan, hanya 12% pekerja informal di Indonesia yang memiliki dana pensiun. Sementara mantan pekerja luar negeri, seperti Toni, tak masuk skema BPJS Ketenagakerjaan kecuali mendaftarkan diri sendiri. "Dulu saya pikir cukup bantu keluarga dan beli tanah. Tapi tanah pun tak menghasilkan apa-apa kalau tidak dikelola," keluh Toni.
Menabung Bukan Soal Gaji, Tapi Mindset
Persoalan utama bukan pada kecilnya penghasilan---karena Toni menghasilkan sekitar 3.000 USD per bulan---melainkan pada pola pikir: bahwa masa tua itu datang, cepat atau lambat. Literasi keuangan pekerja migran Indonesia masih rendah. Banyak yang tak tahu soal reksa dana, DPLK, atau pensiun mandiri.
Solusinya? Pemerintah perlu lebih serius mengedukasi para pekerja migran sejak sebelum berangkat. Penempatan tenaga kerja harus dilengkapi dengan pelatihan manajemen keuangan dan skema pensiun. Juga, komunitas diaspora Indonesia bisa berperan aktif memberi contoh sukses soal menyiapkan hari tua.
Toni kini mulai dari nol: menjadi montir sepeda motor dan menyisihkan uang seribu-dua ribu per hari untuk tabungan masa depan anaknya. Ia tahu sudah terlambat untuknya, tapi tidak untuk generasi selanjutnya.
Karena hidup bukan tentang seberapa keras kita bekerja, tapi seberapa bijak kita menyiapkan saat kita tak bisa bekerja lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI