Mohon tunggu...
David Herdy
David Herdy Mohon Tunggu... Penulis lepas

Penulis lepas yang aktif menulis fiksi dan non fiksi tema ruang publik sebagai bagian dari narasi ingatan kolektif. "Menulis adalah upaya kecil untuk mengabadikan pikiran sebelum ia lenyap. Karena ide tak punya kaki, kecuali kutuliskan."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Inspiratif Eks Migran Sukabumi: 15 Tahun di Jepang, Pulang Bawa Cara Baru Bertani

20 Mei 2025   17:03 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:18 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dok Website: bibitbunga.com 

Teaser 

Deden, eks pekerja migran asal Sukabumi, membuktikan bahwa pengalaman bertani di Jepang bisa diubah jadi peluang di kampung sendiri. Dari Ibaraki ke Cisaat, ia membangun sistem greenhouse yang bikin penasaran.

Sukabumi, Jawa Barat -- Setiap pagi, Deden (50) bangun lebih cepat dari matahari. Di belakang rumahnya yang sederhana di Cisaat, berdiri tiga bangunan rumah kaca berstruktur besi ringan dan plastik UV bening. Di sanalah ia menanam selada romaine, pakcoy, dan tomat ceri dengan teknik pertanian yang tak lazim bagi kampung halamannya.

"Saya belajar ini dari Jepang, waktu kerja di Ibaraki. Awalnya panen tomat, lama-lama diajarin cara merawat greenhouse," ujar Deden, mantan pekerja migran yang 15 tahun bekerja di sektor pertanian di Prefektur Ibaraki, salah satu lumbung pangan utama di Jepang.

Selama bekerja di Jepang, Deden mengikuti pelatihan rutin dari JA (Japan Agricultural Cooperative) dan diajari sistem tanam dengan pengaturan suhu, kelembapan, serta pola irigasi otomatis. Ia juga terbiasa dengan sistem tanam berjadwal dan pencatatan hasil panen secara digital.

"Bukan cuma kerja kasar. Di sana itu petani pakai laptop, sensor, dan manajemen seperti perusahaan," kata Deden, sambil menunjukkan alat pengukur suhu tanah yang kini jadi perangkat wajib di kebunnya.

Setelah pensiun dari program kerja migran dan kembali ke Indonesia pada 2022, Deden tidak langsung membuka lahan. Ia menghabiskan hampir setahun menyusun skema yang cocok untuk diterapkan di iklim Sukabumi, dengan keterbatasan modal dan teknologi.

"Di Jepang pakai sensor canggih. Di sini saya pakai alat sederhana tapi fungsinya mirip. Timer air otomatis, termometer digital, dan sistem sumbu untuk irigasi nutrisi."

Modal awal ia kumpulkan dari tabungan selama bekerja di Jepang, sekitar Rp150 juta, cukup untuk membangun dua unit greenhouse sederhana ukuran 6x12 meter. Produksi perdana seladanya dijual ke restoran hotel di Bogor.

Sekarang Deden memasok rutin ke tiga kafe dan satu restoran Jepang di Sukabumi. Permintaan mulai stabil. Ia juga membuka pelatihan kecil untuk pemuda desa yang tertarik mempelajari pertanian sistem Jepang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun