Menghidu Jejak Ketertinggalan di Laju Peradaban
Di sini tak ada bentang aspal nan keras
tak ada sorot lampu penerang jalan
layaknya di kota-kota besar bermandi cahaya
Jika malam berselimut gelap
maka orang-orang
lebih memilih terlelap
dalam bilik miliknya
mendekap mimpi
Seraya bertanya dalam hati
kapan paras desa serupa wajah kota
dipulas cantik gincu pembangunan
hingga sedianya dilirik
Dirias ragam fasilitas yang ada
bukan hanya sekedar memeluk ketertinggalan
pekat yang tak kunjung terlerai
di malam gelap gulita
hanya dipayungi pendar cahaya purnama
Hingga kaki waktu terkilir
dan sebulat mentari jatuh tergelincir
di ujung langit pesisir
seraya mengigit tepian bibir
lantas tersenyum sumir
Di sini hanya ada bentang tanah merah
bila semesta menitikan air mata runtuhkan panah-panah hujan
maka seketika merupa
kubangan kerbau
Katamu di sini lekak-lekuk
molek tubuh desa
tak terjamah lengan penguasa
terkungkung keterbatasan
mati obor harapan
dan para penghuninya memeluk erat ketertinggalan
Ingin mengadu entah pada siapa
atas merananya hidup
dijerat seutas tali-temali keterbelakangan
diinjak derap sepatu pembangunan terpinggirkan
Ingin berkeluh kesah namun
hanya akan mengigit
kudapan kecewa
lantaran ribuan tanya diyakini
hanya akan terbenam
di lumpur kesia-siaan
Pulang menyeret langkah gontai
sontak relung kalbu terasa ngilu
diiris-iris sebilah pisau kenyataan
hanya bisa terdiam mata pejam
menari-nari harapan bergantian
Di sini jauh dari peradaban
namun tak teracuni
tetes embun kemunafikan
tak ada kebaikan merupa
perhiasan imitasi
bersepuh dengki
dan terlebih dikelilingi
Ular berbisa berkepala dua
Indramayu
HVS
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI