Mohon tunggu...
Hera Veronica Suherman
Hera Veronica Suherman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamen Jalanan

Suka Musik Cadas | Suka Kopi seduh renceng | Suka pakai Sandal Jepit | Suka warna Hitam

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tuan Kapitalis

15 Juni 2021   06:38 Diperbarui: 15 Juni 2021   06:46 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Artmarket Gallery.com

Tuan Kapitalis

Ia datang merupa malaikat
dengan tutur kata memikat
ia incar setiap jengkal tanah
demi keuntungan pribadi
sebagai "Komoditi Bisnis"

Yang mengendap di ruas kepala
tak lain tak bukan hanyalah
perihal Laba tak peduli kendati
saling bunuh demi menyelamatkan
lumbung - lumbung rupiah

Ia datang dengan segudang
rayuan maut buat lulut - manut
kepiawaiannya memikat hati
warga dusun tak diragukan
segala cara ditempuh

Koper - koper rencana
ditengtengnnya dari kota hingga
tiba di tempat tujuan
dusun-dusun masih terpelihara
keasrian alam desa dimana

Oksigen bersih berlimpah ruah
tersaji dan dapat dihirup
serta dinikmati dengan leluasa
kapan saja dan dimana saja
tanpa harus merogoh kocek

Guna membeli udara yang
tak kasat mata sebab semua
tersedia melalui hembus angin
bertiup sejuk segar dari arah
hutan-hutan perawan

Di balik tempurung kepala dipenuhi
perencanaan matang tata kota
membangun kota nan megah
menyingkirkan gubuk-gubuk reot
berselimut tebal kemiskinan

Segala yang terkesan kumuh
serasa sakit mencungkil mata
seraya menatap sinis wajah-wajah
penduduk desa tengah meringis
menyaksi tanah moyang

Lamat-lamat terenggut dan
berpindah tangan lantaran
bujuk rayu serta silau tumpukan
lembar-lembar rupiah
buat tergadai dan terjual

Tanpa berpikir panjang
akan warisan leluhur berupa
tanah moyang tanah keramat
menyimpan surga tersembunyi
yang dapat disambangi bukan

Villa-vila mewah megah berdiri
di sepanjang lereng pegunungan
guna menyaksi eksotika panorama
menyeduh indah memanja mata
milik mereka kaum berpunya

Pencakar langit angkuh mendongak
dari tempatnya berdiri bangunan
tinggi seakan hendak mencungkil
mata langit dengan menarik busurnya
dan melontarkan anak-anak panah

Tuan Kapitalis tersenyum puas
seraya menyesap sebatang lisong
di atas meja kerjanya
nikmati rupiah mengalir deras
ke Brankas miliknya

Sementara penduduk dusun
tertunduk lemas menyaksi
tanah moyang raib menyisa
catatan sejarah bahwasannya
wajah desa telah menjelma kota


***
Hera Veronica Sulistiyanto
Jakarta | 15 Juni 2021 | 06:38

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun