Mohon tunggu...
Heppy Haloho
Heppy Haloho Mohon Tunggu... Dosen - Belajar, membaca dan menulis (puisi)

Komunikasi, pendidikan, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Kerendahan Hati dari Pandemi Covid-19

27 November 2020   18:50 Diperbarui: 27 November 2020   19:03 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak bisa dipungkiri, peristiwa pandemi Covid-19 yang saat ini melanda dunia telah memberi banyak pelajaran bagi kita. Kita diajarinya tentang arti penting menerapkan pola hidup sehat. Kita juga diajarinya tentang kerendahan hati untuk mengaku diri sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhan. Namun, kerendahan hati sepertinya bukanlah perkara yang mudah dipelajari oleh manusia di masa perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Dalam kedigdayaannya, manusia lebih cenderung menjadi tinggi hati dan melupakan Tuhan.

Melalui tulisan ini saya berharap untuk menunjukkan bagaimana kita dapat belajar rendah hati dari peristiwa pandemi Covid-19. Kerendahan hati bukanlah kata yang jarang kita dengar, namun mungkin sekali maknanya tidak kita pahami dengan benar. Bahasa Latin untuk kerendahan hati adalah humilitas, yang berasal dari kata humus—“tanah.” Pengertian ini benar-benar menarik. Saya memahaminya dengan arti bahwa orang bisa disebut rendah hati apabila ia menyadari asal-usul dirinya dari debu tanah. Kesadaran ini akan menuntunnya kepada sikap memuliakan Allah, Penciptanya.

Alkitab mencatat bahwa kerendahan hati adalah satu ajaran dan teladan yang diberikan Yesus kepada umat-Nya. Yesus sendiri tampil sebagai sosok yang sangat rendah hati dan yang menyukai kerendahan hati. Sebab itu para pengikut Yesus juga dituntut untuk hidup secara rendah hati. Lalu apa pelajaran tentang kerendahan hati yang bisa kita petik dari peristiwa pandemi Covid-19 ini? Saya pikir setidaknya ada tiga hal.

Pertama, pandemi Covid-19 mengajari kita betapa sepelenya kehebatan kita di hadapan Tuhan. Nabi Yeremia pernah mengingatkan agar manusia tidak bermegah karena kebijaksanaan, kekuatan, ataupun kekayaan melainkan karena Allah saja (Yer. 9:23-24). Namun, alangkah sulitnya manusia—khususnya di zaman canggih ini—untuk tidak bermegah karena perkembangan ilmu pengetahuan, daya, ataupun kemakmuran.

Ketika China mengumumkan wabah pneumonia yang kemudian disebut Covid-19 di Wuhan, tak sedikit negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang bersikap meremehkan dan mengabaikannya. Tak ragu lagi sikap itu berpangkal dari kepercayaan diri akibat ilmu pengetahuan yang canggih, kekuatan yang besar, dan kemakmuran yang berkembang saat ini. Tetapi dengan cepat Covid-19 menjungkalkan kepercayaan diri itu dan memaksa setiap kita untuk rendah hati.

Kedua, pandemi Covid-19 mengajari kita betapa fana dan rapuhnya hidup kita. “Seluruh umat manusia,” tulis Nabi Yesaya, “adalah seperti rumput dan semua semaraknya seperti bunga di padang. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, apabila TUHAN menghembusnya dengan nafas-Nya” (Yes. 40:6-7). Ya, seperti rumput dan bunga, kita tidak tahan lama, tidak pula tahan “hama” dan penyakit.

Ketika pandemi Covid-19 merebak di dunia, bahkan negara-negara maju yang memiliki teknologi pengobatan yang tercanggih pun lumpuh seketika. Amerika Serikat yang adidaya itu justru menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Pandemi ini memperkuat rasa fana dan rapuh kita selaku manusia sehingga kita benar-benar tak punya alasan untuk tidak rendah hati.

Ketiga, pandemi Covid-19 mengajari kita untuk bergantung penuh kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan. Tak heran Rasul Petrus berkata, “[R]endahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya” (1 Ptr. 5:6). Kerendahan hati berarti mengakui bahwa Tuhan sajalah yang mahakuat dan yang akan menolong kita pada waktunya.

Ketika pandemi Covid-19 masuk Indonesia, tak sedikit anak muda yang menganggap diri kebal sehingga mengabaikan aturan jaga jarak. Bisa diduga sikap itu berasal dari keyakinan anak muda bahwa tubuhnya kuat dan sehat. Namun, data medis menunjukkan bahwa jumlah anak muda yang terpapar Covid-19 justru sangat tinggi. Tak pelak realitas ini mendesak semua orang, khususnya anak muda, untuk mengakui bahwa bukan tubuh kuat yang membuat kita selamat, melainkan Tuhan yang Mahakuat.

Saya percaya bahwa pandemi Covid-19 diizinkan Tuhan untuk menggugah kesadaran manusia tentang betapa tidak berdayanya kita di hadapan Yang Mahakuasa. Jadi, tidaklah baik jika kita terus menegakkan kepala secara jemawa dalam kepercayaan diri terhadap kedigdayaan manusia. Yang terbaik adalah jika kita menundukkan diri dan bersandar penuh kepada Allah—bahkan setelah pandemi ini lewat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun