Mohon tunggu...
Henri Satria Anugrah
Henri Satria Anugrah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten Pengembangan Diri

Membacakan hasil tulisan di channel Youtube bernama Argentum (https://www.youtube.com/c/Argentum-ID/)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ingin Selalu Sehat Mental? Jangan Pernah Melampiaskan Marah!

9 Oktober 2019   17:54 Diperbarui: 9 Oktober 2019   19:39 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang marah, sumber: pixabay.com

Dalam menjalani kehidupan, seluruh manusia pasti pernah merasakan marah. Ada saja hal-hal yang membuat seseorang menjadi marah, misalnya yang paling sederhana, yaitu lupa di mana menaruh HP ketika ingin menghubungi orang tua untuk suatu keperluan atau menanyakan sesuatu; atau yang paling buruk seperti mendapat hasil buruk dalam suatu ujian sekolah. 

Hal ini membuat manusia cenderung melampiaskan kemarahannya, seperti berkata kasar atau memukul suatu benda, yang biasanya berujung pada rasa sakit, rusaknya suatu benda, dan penyesalan lainnya.

Marah merupakan emosi alamiah yang membuat seseorang merespons ancaman mental dan mencegah depresi (Puff, 1999). Marah dapat terjadi pada siapapun, kapanpun, dan di manapun terlepas dari ras, suku, agama, usia, budaya, dan tingkat pendidikan dari seseorang. 

Jika tidak tidak dikendalikan, marah dapat membuat seseorang merusak benda-benda dan menyakiti orang-orang yang ada di sekitarnya, yang bahkan tidak tahu apapun mengenai kemarahan yang sedang diderita orang yang sedang marah.

Dewasa ini, telah tersebar di masyarakat ajaran yang mengajarkan bahwa marah harus dilampiaskan agar individu merasa lega. 

Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh Bushman (2002), melampiaskan kemarahan seperti memukul suatu benda dan berteriak sama sekali tidak menurunkan kemarahan, tetapi malah meningkatkan kemarahan itu sendiri dan membuat seseorang menjadi lebih agresif. 

Dari sisi sosial, melampiaskan kemarahan akan membuat individu dianggap sebagai orang yang negatif, yang membuat orang lain takut dan enggan untuk dekat individu tersebut.

Di samping itu, melampiaskan kemarahan dapat membahayakan pikiran (mental), di antaranya: gangguan tidur (Hisler & Krizan, 2017); konsentrasi berkurang, kurang kontrol dalam berkendara, meningkatkan kemungkinan kecelakaan ketika berkendara (Sullman dkk, 2017); depresi (Tel, 2013); dan tidak menghargai segala sesuatu yang dipersepsikan (dilihat, didengar, dirasa, dihirup, disentuh), sehingga cenderung berpikir dan merespons sesuatu dengan cara negatif (Heesink dkk, 2017). 

Melampiaskan kemarahan pun terbukti dapat membahayakan tubuh (fisik), di antaranya: gangguan kardiovaskular (jantung), gastrointestinal (terkait pencernaan; lambung dan usus) (Park dkk, 2015); diabetes (Santos dkk, 2012); gagal jantung (Kucharska-Newton dkk, 2014); dan hipertensi (Tel, 2013).

Lantas bagaimana cara terbaik untuk mengatasi marah yang melekat dalam dada? Dalam agama Islam, dari Abu Dzar RA, Rasulullah SAW bersabda: 

"Apabila seseorang dari kalian marah saat sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk. Hal itu dapat membuat amarah hilang, namun jika belum hilang juga, maka berbaringlah" (HR. Abu Dawud no. 4783). 

Hadis di atas telah terbukti secara ilmiah. Pada penelitian Bushman (2002), Hanya duduk diam tanpa melakukan apapun terbukti lebih efektif untuk menurunkan kemarahan dan perilaku agresif daripada melampiaskan kemarahan. Sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa seseorang akan lebih mudah marah ketika berposisi berdiri, karena posisi tersebut merupakan posisi ideal untuk menyerang (Kalat, 2015).

Demikianlah paparan bahaya dari marah bagi tubuh (fisik) dan pikiran (mental). Setelah membaca artikel ini, masihkah kamu berani melampiaskan kemarahan? Menurutmu, lebih baik melampiaskan kemarahan atau memendam kemarahan?

Daftar Pustaka
Bushman, B. J. (2002). Does Venting Anger Feed or Extinguish the Flame? Catharsis, Rumination, Distraction, Anger, and Aggressive Responding. Personality and Social Psychology Bulletin, 28(6), 724-731.

Heesink, L., Gladwin, T. E., Vink, M., van Honk, J., Kleber, R., & Geuze, E. (2018). Neural activity during the viewing of emotional pictures in veterans with pathological anger and aggression. European Psychiatry, 47, 1-8.

Hisler, G., & Krizan, Z. (2017). Anger tendencies and sleep: poor anger control is associated with objectively measured sleep disruption. Journal of Research in Personality, 71, 17-26.

Kalat, J. W. (2015). Biological Psychology (12th ed.). Boston: Cengage Learning.

Kucharska-Newton, A. M., Williams, J. E., Chang, P. P., Stearns, S. C., Sueta, C. A., Blecker, S. B., & Mosley, T. H. (2014). Anger Proneness, Gender, and the Risk of Heart Failure. Journal of Cardiac Failure, 20(12), 1020-1026.

Park, Y. J., Lee, S. J., Shin, N. M., Shin, H., Kang, H. C., Jin, Y. T., ... & Cho, I. (2015). Anger, Anger Expression, Cardiovascular Risk Factors, and Gastrointestinal Symptoms by Hwa-Byung Symptoms in Korean Adult Women. Applied Nursing Research, 28(4), 398-403.

Puff, R. E. (1999). Anger Work: How To Express Your Anger And Still Be Kind (2nd ed.). Well-Spring Press

Santos, C. O., Caeiro, L., Ferro, J. M., & Figueira, M. L. (2012). A study of suicidal thoughts in acute stroke patients. Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, 21(8), 749-754.

Sullman, M. J., Paxion, J., & Stephens, A. N. (2017). Gender roles, sex and the expression of driving anger. Accident Analysis & Prevention, 106, 23-30.

Tel, H. (2013). Anger and Depression Among the Elderly People with Hypertension. Neurology, Psychiatry and Brain Research, 19(3), 109-113.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun