Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Susahnya Menjadi Orang Biasa

25 Juli 2013   17:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13747468121631286005

Menjadi orang biasa, ternyata kurang menguntungkan dibanding menjadi miskin. Yang dimaksud “orang biasa” adalah, kaya tidak, miskin juga tidak. Tetapi disebut “kelas menengah” rasanya kok juga tidak termasuk. Jumlah orang-orang biasa ini jauh lebih banyak daripada orang miskin, apalagi dibanding orang kaya. Celakanya, menjadi orang biasa tidak dapat menikmati kemudahan fasilitas sebagaimana orang kaya, namun sering diabaikan karena dianggap “tidak miskin”. Orang-orang biasa adalah mereka yang sudah mampu makan tiga kali sehari, sudah mampu memiliki rumah sendiri (atau setidaknya kontrak), punya pesawat televisi. Sudah memiliki sarana transportasi meski sebatas sepeda motor. Anak-anaknya mampu bersekolah nyaris tanpa hambatan, meski untuk bayar sekolah dan uang saku harian kadang-kadang harus mengurangi jatah belanja. Penghasilan sisanya, masih cukup untuk bayar listrik dan beli pulsa telepon seluler. Orang-orang biasa adalah mereka yang hanya hidup pas-pasan, tidak pernah rekreasi karena tidak ada anggaran. Kecuali ikut rombongan sekolah atau rombongan warga kampung. Mereka juga tidak punya tabungan, kecuali mendapat giliran arisan. Mereka seringkali dipaksa untuk tidak mengeluh ketika tiba musim hajatan, dimana banyak undangan pernikahan datang, dan itu berarti harus menyiapkan dana untuk kado yang lumayan banyak. Memang kadang juga mereka mengeluh ketika dalam sebulan bisa sampai mendapat 5-6 undangan pernikahan. Tetapi keluhan itu mereka simpan dalam-dalam karena mereka harus maklum, bahwa suatu ketika mereka sendiri juga akan mengundang tetangganya ketika ada anggota keluarganya yang menikah. Orang-orang biasa adalah mereka yang seolah-olah lancar-lancar saja kehidupannya. Hidup yang sederhana, betul-betul sederhana, tidak mewah, tidak berlebihan, namun juga tidak kekurangan. Mereka sepertinya tidak memiliki persoalan apa-apa dalam menjalani kehidupannya. Persoalan baru mereka rasakan ketika anak-anaknya hendak masuk ke tingkatan sekolah yang lebih tinggi, masuk ke perguruan tinggi, apalagi sampai berbarengan dua atau tiga anak sekaligus. Apalagi ketika ada anggota keluarganya yang kecelakaan, atau jatuh sakit dan membutuhkan biaya sangat besar. Lantas bagaimana mereka mengatasinya? Nyaris tidak ada barang mewah di rumah yang dapat dijual untuk mengatasi persoalan itu. Jalan yang paling mudah adalah berhutang ke tetangga atau sanak saudara. Itupun kalau dipercaya, entah kapan membayarnya, kalau bisa diangsur dengan uang yang entah didapat dari mana. Konglomerat Chairul Tanjung (CT) dalam wawancara dengan majalah Tempo (6-12/5) menyebutkan: “Kita punya sekitar 30 juta orang miskin dengan katagori konsumsi Rp 275 ribu per orang setiap bulan. Kita punya 70 juta orang hampir miskin yang konsumsinya tak lebih dari 375 ribu per orang per bulan. Antara miskin dan hampir miskin itu beti, beda beda tipis. Lalu kita punya lagi 100 juta orang yang tidak miskin dan tidak kaya, in between. Yang relatif kaya, atau dalam istilah MsKinsey itu consuming class, ada sekitar 50 juta orang.” Nah, yang disebut “orang biasa” itulah yang kata CT sebanyak 100 juta jiwa itu. Kalau penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, maka jumlah orang biasa mencapai 40 persen. Mereka inilah yang selama ini nyaris tidak mendapatkan fasilitas dan kemudahan dari pemerintah dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan dan banyak lagi. Karena itu, ketika pemerintah membuat program bantuan untuk orang miskin, maka banyak orang-orang biasa ini yang kemudian menyamar menjadi orang miskin. Itulah yang terjadi ketika ada pembagian BLT (Raskin atau BLSM), ada orang-orang yang ikut ambil bagian dengan mengendarai sepeda motor. Mereka menolak disebut orang kaya, sebagaimana tetangganya yang miskin menyebut mereka begitu. Ketika polemik naik tidaknya harga BBM, sepertinya ada polarisasi antara orang miskin dan orang kaya. Harga BBM dinaikkan, kata pemerintah, supaya dapat memberikan bantuan kesejahteraan bagi orang miskin (BLSM), mulai dari bantuan langsung tunai atau biaya pendidikan. Subsidi untuk BBM selama ini, katanya, tidak tepat sasaran karena justru dinikmati oleh orang-orang kaya. Wakil Gubernur DKI Jakarta malah bersikap ekstrim: “...... orang miskin memang tidak membutuhkan BBM, melainkan yang diperlukan adalah jaminan harga sembako murah, biaya pendidikan, perumahan dan kesehatan.” (detik.com, 14/6/03). Pertanyaannya, bagaimana dengan orang-orang biasa? Mereka adalah orang-orang yang memiliki motor sebagai sarana vital untuk transportasi kerjanya, pasti sangat terpengaruh dengan kenaikan harga BBM ini. Sementara pada saat yang sama mereka justru tidak termasuk golongan orang miskin yang berhak menerima subsidi. Simaklah berbagai jargon partai apa saja, tokoh siapa saja yang mengaku sangat berkepentingan memikirkan nasib rakyat. Para Caleg, calon kepala daerah dan siapa saja yang hendak meraih kekuasaan, semua mengklaim memperjuangkan nasib orang miskin. Sama sekali tidak pernah diperhitungkan nasib orang-orang biasa yang justru menjadi mayoritas di negeri ini. “Negara seharusnya melayani rakyat semua golongan, termasuk orang kaya,” cetus budayawan Ridwan Saidi dalam sebuah acara di TVOne. Sayang Ridwan tidak menyebut soal orang-orang biasa ini. Sementara itu dari sisi psikologis, anak-anak dari keluarga orang biasa tidak mendapat tantangan yang berarti dalam membangun masa depannya. Tidak ada perjuangan bagaimana harus berangkat sekolah dengan terpaksa numpang truk misalnya. Orangtua dari golongan orang-orang biasa akan selalu memenuhi kebutuhan uang saku anak-anaknya setidaknya untuk transport dan beli makanan di sekolah. Tidak ada perjuangan harus naik sepeda pancal hingga puluhan kilometer dari rumah ke sekolah, sehingga harus berangkat beberapa jam sebelumnya agar tidak terlambat. Dan ketika tiba di sekolah, keringatnya masih membasahi bajunya. Tidak perlu memikirkan bagaimana susahnya tidak punya sepatu, sebagaimana yang pernah dialami seorang Dahlan Iskan ketika remaja. Tidak perlu susah memikirkan baju seragam sekolah karena orangtua sudah pasti akan membelikannya, dengan cara apapun. Ketika anak-anak orang miskin mendapat bantuan pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), fasilitas seperti itu tidak bisa didapatkan oleh anak-anak orang biasa. Untuk mendapatkan subsidi pengurangan atau pembebasan uang sekolah yang didapat dari BOS, siswa harus mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari pengurus kampung dan Lurah setempat. Tetapi bagi orang-orang biasa, justru akan ditertawai pengurus kampung kalau sampai mengurus SKTM, karena dalam kesehariannya memang sama sekali tidak terlihat sebagai orang miskin. Namun dalam prakteknya, ternyata ada sekolah yang membagikan subsidi BOS itu untuk semua siswa, tanpa kecuali. Menjadi anak dari keluarga orang biasa, juga sulit mendapat beasiswa semacam Bidikmisi untuk masuk perguruan tinggi. Beasiswa prestasi pun masih juga ada syarat tambahan “dari keluarga tidak mampu”. Apalagi, anak-anak dari keluarga orang biasa ini kemampuan akademiknya juga termasuk “biasa-biasa saja”. Pinter juga enggak, bodoh-bodoh amat juga enggak. Nilai rapornya sudah lumayan, sekitar angka 6 – 7, setidaknya bebas dari angka merah. Cobalah simak riwayat orang-orang yang sukses dan menjadi tokoh selama ini, rata-rata adalah lahir dan dibesarkan dari keluarga miskin dan serba kekurangan. Namun dari kemiskinannya itulah mereka seperti menjalankan latihan di kawah candradimuka sehingga kelak menjadi orang yang berhasil. Banyak contoh yang dapat disebut. Misalnya saja, Dahlan Iskan yang berasal dari keluarga miskin namun sukses menjadi pengusaha dan Menteri BUMN. Juga Chairul Tanjung yang menjadi salah satu orang terkaya Indonesia, bahkan dunia, versi majalah Forbes. Namun dikatakannya, “saya tahu susahnya menjadi orang miskin, karena saya pernah mengalaminya.” Sedemikian miskinnya, CT menyebut dirinya sebagai Anak Singkong karena pernah hidup amat susah di masa lalu. Tetapi bagi anak-anak orang biasa, hidup sepertinya berjalan datar-datar saja. Yang penting bisa makan tiga kali sehari, bisa sekolah lancar, itu sudah karunia luar biasa. Tidak ada tantangan yang membuat mereka terlecut untuk melawan kemiskinan dan terobsesi menjadi orang kaya. Tidak ada “dendam” terhadap kemiskinan lantaran sejak kecil mereka memang tidak tergolong orang miskin. Nasib orang-orang biasa di negeri ini, siapakah yang mau peduli? (*) http://henrinurcahyo.wordpress.com/2013/07/25/susahnya-menjadi-orang-biasa/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun