Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Naga Emas

23 Mei 2022   12:20 Diperbarui: 23 Mei 2022   12:23 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesosok raksasa berbaju besi mengenakan mahkota, kedua tangan memegang pedang, sedang kedua kaki dengan posisi kuda-kuda siap berperang melawan dua raksasa berbentuk sama menanti di hadapannya, ular piton dan ular kobra.

Dengan sekali teriakan "Uragapati," sesaat perang dimulai. Raja Uragapati hanya terdiam membaca gerak lawan, bentuk dan posisi tubuhnya masih sama. Ular piton mulai menyerang dan melilitnya. Hingga leher raja tercekik menghadap langit, membuat topeng zirahnya terbuka. Ular kobra mendekat, bersiap menyemburkan upas mematikan. Pedang raja masih berdiri tegap dalam genggaman.

Ular piton menambah lagi tenaga lilitan, seperti memeras pakaian basah. Raja Uragapati tak melepas pedangnya, bahkan semakin erat lilitan semakin erat pula pedang di genggaman. Tak lama ia seperti merintih kesakitan. Mulutnya pun kini mulai menganga, ular kobra tak ingin membuang kesempatan. Ditariknya kepala sedikit ke belakang, lalu memuncratkan cairan dari dalam mulutnya.

Di saat bersamaan muncul cahaya kilau keemasan menyelimuti pedang raja. Ular piton yang tahu mendadak melepas lilitan. Sesaat topeng zirah menutup menyelamatkan wajah raja dari racun ular kobra.

"Terlambat," ujar Putera Nara sembari menggerakan kedua tangannya seperti menebas, Raja Uragapati mengikuti isyarat. Kemudian diayunkan pedang dua kali. Cahaya kilau keemasan yang menyelimuti pedang itu, lalu mengeluarkan hempasan udara sangat panas. Seketika menghancurleburkan ular kobra dan ular piton yang ada.

Sontak debu-debu bertebaran sangat kencang hingga menyingkap jubah yang dikenakan Ki Purwa. "Bukan main, tuanku," kata Ki Purwa memuji. "Begitu sempurna kau melakukannya."

Akan tetapi, Putera Nara merasa belum puas dengan mantra besar uragapatinya. Sesaat ketika mulutnya akan berucap Ki Purwa lebih dulu berkata "Tak pernah ada yang lebih sempurna selain dirimu menggunakan mantra uragapati." Penuh rasa bangga.

"Tapi Ki." Celetuk Putera Nara "Aku ingin ada mantra lagi yang kekuatannya setara dengan uragapati," katanya melanjutkan "Coba Ki pikirkan baik-baik, bagaimana mungkin kelak aku menghadapi bayi itu hanya dengan cukup satu mantra saja." Dengan kepala mendongak dan memandang wajahnya.

Ki Purwa sama sekali tidak menyukai ekspresi Putera Nara, "Jangan kau remehkan mantra uragapati di hadapanku dengan mulutmu yang busuk itu." Timpal Ki Purwa sangat geram "Aku korbankan 6 tahun hanya untuk mantra uragapati hingga menyebabkanku terusir dari Padepokan Inggil Giri. Jika aku menginginkannya, sangat mudah bagiku mencabut mantra itu dari tubuhmu."

"Ki... Bu-bukan itu maksudku. Ka-kau salah pa-paham Ki," Putera Nara mendadak gagap, jantungnya berdegub jauh lebih kencang.

"Bila tadi kau paham dengan cahaya keemasan yang keluar dari pedang raksasa uragapati, mulutmu takkan selancang ini." Ki Purwa benar-benar marah besar. Kata-katanya seperti tak terkendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun