Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sahabat Penjalinan (3): Bermain Amben

25 Oktober 2021   08:03 Diperbarui: 25 Oktober 2021   12:49 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Roda depan dan belakang sepeda motorku, melaju kencang di jalan makadam. Terus menjauh, meninggalkan Dusun Penjalinan. Aku tak perlu menambah gas tangan. Cukup kubiarkan saja, Karena jalan makadam itu tak lagi menanjak. Akan tetapi jalan menurun.

Tak terbesit di benakku, bahwa ini sebuah perpisahan. Tak ada, sama sekali tak ada perasaan itu. Mendengar kata-kata, berkarya, berkebun, berjualan, dan perpustakaan mini, membuat hatiku, seperti mati rasa.

Ya, betul-betul seperti mati rasa. Bukan karena sedih, dan juga, bukan karena bangga. Tapi yaa, memang...
...tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Gemuruh itu terdengar tiada henti, kemudian!

Sejenak, kuteringat suatu kejadian. Kejadian yang mirip sekali dengan peristiwa pertama kali kualami, saat baru pulang dari dusun penjalinan rumah Cak Soe.

--000--

Peristiwa terdengarnya suara gemuruh, yang kualami saat baru pulang dari rumah Cak Soe itu adalah, peristiwa ban belakang sepeda motorku yang tiba-tiba kehilangan tekanan angin alias bocor.

Karena kehilangan tekanan angin, sepeda motor yang kutunggangi pun hilang kestabilan. Terasa goyang-goyang pada bagian belakang. Kemudian kuperhatikan melalui spion kanan kiri lalu lintas aman, aku berusaha menepi dan berhenti pelan-pelan.

Kupinggirkan sepeda motor, kemudian kulakukan pengecekan. Tak kuduga, ternyata permukaan ban luar bagian belakang sudah hampir mulus. Mulai tak terlihat beberapa bagian batik-batik, yang menjadi ciri khas kekuatan layak pakai pada permukaan ban bagian luar. Mungkin ini salah satu penyebab bocornya ban belakang sepeda motorku.

Karena tempat pemberhentianku masih termasuk kawasan teritorial Desa Jatisari, dan tak jauh dari Dusun Penjalinan. Aku pun menghubungi Cak Soe melalui telepon.

Sudah menjadi ciri khasnya bila mengangkat telepon. Seperti gaya cepat petugas Pemadam Kebakaran (Damkar). 

Benarkan apa kataku, tak sampai 10menit. Cak soe sudah terlihat menghampiri dengan berjalan kaki.

Dia menyarankan agar sepeda motor yang bocor ini untuk dituntun menuju rumahnya. Karena Cak Soe memiliki tetangga yang bisa membantu melakukan tambal ban. Aku pun mengiyakan saran itu.

Sambil menuntun sepeda motor menuju rumah Cak Soe. Aku bertanya tentang suara ramai pada speaker telepon. Suara ramai yang kudengar itu seperti suara anak-anak. Sambil tersenyum-senyum menjelaskan. Sudah menjadi kebiasaan setiap pukul 16:00, anak-anak dusun penjalinan berkumpul di pekarangan rumahnya.

Mereka berkumpul untuk melakukan banyak aktifitas permainan. Seperti permainan Lompat Tali Karet, permainan Cici Putri, Englek, dan Patok Lele bagi anak-anak cowok. Dan masih ada beberapa lagi, yang terkadang Cak Soe sendiri seperti gagap lupa menyebutkan beberapa permainan yang dilakukan anak-anak Dusun Penjalinan.

Asyik mendengar beberapa permainan anak-anak yang diceritakan Cak Soe. Tak terasa, kami sudah mendekati rumahnya sambil menuntun sepeda motorku yang bocor ini. Betul sekali apa yang dia ceritakan. Terlihat banyak sekali anak-anak riang ceria bermain dan berkumpul. Aku pikir sudah tiada budaya permainan seperti ini. Namun di Dusun Penjalinan ini, anak-anak begitu cekatan melakukan permainan-permainan tradisional yang ada.

Tak lama kemudian, Cak Soe mengarahkanku untuk menuntun sepeda motor menuju salah satu rumah, yang di depannya tertulis jelas "Tambal Ban". Kebetulan, pemilik usaha tambal itu juga sedang mengganti ban bagian luar pelanggan lain. Jadi, sepeda motorku harus mengantri. Cak Soe pun mengutarakan kepada tetangga yang juga pemilik usaha tambal ban itu, untuk menambal ban dalam bagian belakang sepeda motorku.

Karena rumah yang tertulis "Tambal Ban" itu tak jauh, hanya selisih dua deret dari rumah Cak Soe. Kami pun beranjak untuk menuju rumahnya. Sambil berjalan kaki hingga mendekati rumah Cak Soe, tepatnya di lincak bambu miliknya. Aku melihat beberapa anak terlihat nampak sangat gembira, dengan bertawa-tawa. Aku pun menanyakan apa nama permainan itu jika di Dusun Penjalinan ini. Cak Soe pun menjawab "Amben".

Permainan Amben itu, terbuat dari kayu. Memiliki anak lubang berjumlah 14 dan 2 lubang induk di sisi ujungnya. Di setiap lubang itu terdapat biji kopi. Biji kopi itu dipindah dari satu lubang ke lubang yang lain. Memutar secara berurutan. Dan kulihat tangan anak-anak ini hitam. Aku tersenyum sambil tertawa.

Kemudian, aku mendekati mereka, mengikuti keseruan bermain Amben. Anak-anak itu tak canggung kepadaku, hingga canda dan tawa terus mengalir dalam permainan. Tiba-tiba mereka bertanya, ketika aku spontan melontar sebuah kata, yang mungkin asing di telinga mereka. Aku beritahukan kepada anak-anak tentang kata asing itu. Bila di desaku permainan "Amben" seperti ini, kami menyebutnya "Congklak".

Seharusnya, batu kecil untuk biji permainan Amben/Congklak itu. Tapi, Cak Soe memang sengaja menggantikannya dengan memberikan biji kopi.

Hal ini sengaja dilakukan semata-mata, agar permainan terlihat seru. Agar bagi anak-anak yang salah langkah, mendapat usapan hitam di wajahnya. Dan ini menjadi daya tarik tersendiri. Wajah anak-anak ini seperti halnya suku Aborigin, banyak coreng hitam di setiap pipi bahkan dahi.

Dan hal seperti ini yang membuat anak-anak menjadi saling tertawa terbahak-bahak ketika setiap kali memandang lawan mainnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun