Dulu di pojok perempatan jalan umum tempatku kuliah, terdapat warung kopi biasa dan nggak istimewa-istimewa banget. Jangankan luas warungnya, tempat parkir pun nggak ada. Kalaupun terpaksa datang menggunakan motor. Ya, mau nggak mau parkirnya di pinggir jalan dan itupun di bawah lampu bang jo, lampu lalu lintas maksudnya.
Tapi entah kenapa seperti ada daya tarik tersendiri. Mungkin dulu si pemilik punya riwayat pandai dalam ilmu fisika dan jago dalam teori "momentum gaya tarik menarik" sehingga mampu membuat minat ngopi untuk anak kuliah yang memiliki penampilan serba tak jelas dan tak menentu seperti kami ini. Walah... Jangankan baju dan celana yang dikenakan, isi dompet pun akan membuat si pemilik kopi geleng-geleng, sambil bergumam "duwe masadepan ra arek-arek iki..."
Tapi teman-teman ku dulu adalah orang-orang kocak dan setengah waras seperempatnya lagi hampir waras, dan sepertiganya hampir gila. Gumaman kecil seperti itu biasa menjadi santapan guyon di awal pertemuan, dan seakan-akan sudah mengakar keakraban yang ada.
Jarang sekali kita ngopi setelah jam kuliah ataupun sambil menunggu jam masuk mata kuliah. Justru kalau di siang hari cuacanya panas kentang-kentang atau kata teman-teman di bahasa inggris ngawur "the very hot potato's", warung tersebut malahan bukan tempat ideal yang cocok untuk ngopi.
Tapi sebaliknya, bila malam hari tempat ini begitu pas untuk gelar hajatan diskusi sambil ngopi leyeh-leyeh lenger-lenger udut melihat ramainya kendaraan lalu lalang, sembari sambatan, berkeluh kesah, dan juga sangat kritis diberbagai aspek keadaan sekitar, seolah-olah sedang membahas guna menemukan solusi dan menyelesaikan permasalahan bangsa.
Tiba-tiba Pak Jo si pemilik warkop bersuara lantang,
"dapuran mu koyok ngeneki mikir negoro",
"Mikir kuliah mu ae mobat-mabit",
"Sinau sing pinter ben dadi uwong",
"La wis dadi, mampiro warung ku",
"Ben gak koyok saiki",
"Nyumpek-nyumpeki ae...",
"Lah iki opo ra pinter toh pak jo...!!"
Jawab Pak Jo
"ora...", "gelandangan"