Dua hari yang lalu saya ngobrol dengan Rafael, seorang teman yang pernah sangat dekat. Agak lama kami tidak saling bertukar berita, sepertinya pembicaraan terakhir kami di awal pandemi.Â
Saat itu Rafael baru berada di Thailand untuk keperluan melanjutkan pengobatan karena kecelakaan yang dialaminya.
Keesok harinya, saya baca berita, Thailand lockdown. Lantas saya hubungi dia, menanyakan apakah semua baik-baik saja. Dia bilang tidak bisa pulang ke negaranya. Tidak ada cara lain kecuali menunggu hingga ada pesawat yang akan menerbangkannya, sambil dia melanjutkan pengobatan.
Rafael berasal dari benua Amerika Utara, tetapi sedang bekerja di negara lain sejak beberapa tahun yang lalu. Dulu dia pernah mengatakan angan-angannya, nanti jika dia menjalani masa pensiun, dia ingin tinggal di Thailand atau Filipina.Â
Profesinya sebagai anggota militer dari negaranya, memungkinkan dia untuk pensiun dini. Begitu yang pernah dia ceritakan kepada saya.
Kemarin dulu itu, dia menghubungi saya dan mengabarkan baru saja sehari lalu tiba kembali di rumahnya. Tetapi dia harus menjalani masa karantina selama 14 hari di sana.Â
"Lima bulan terlalu panjang untukku," begitu Rafael berkata.
Lima bulan, karena pandemi dia "dipaksa" harus menetap di Thailand, negeri yang menjadi salah satu impiannya. Waktu yang mengubah rencana dia untuk menetap di negara itu jika pensiun nanti. Kunjungannya yang hampir setiap tahun ke Negeri Gajah Putih, hanya dalam jangka waktu tidak lebih dari tiga minggu.
"Kembali ke negaramu?" tanya saya penasaran.Â
"Ya, sepertinya itulah rencana yang ada saat ini," Rafael menjawab yakin.