Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saya Tidak Punya Anak, Apakah Jadi Tidak Bahagia?

5 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 7 Desember 2019   16:05 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dave Anderson/Metro.co.uk)

Apalagi hal anak yang notabene adalah karunia Allah semata. Tidak sedikit pasangan sudah melakukan segala cara untuk beroleh anak, tetapi hasilnya nihil. Ada yang akhirnya dapat ikhlas, tetapi ada pula yang menolak hingga memilih perpisahan.

Memang, dalam hal ini perlu kesetaraan tingkat pandangan dari perspektif yang sama. Suami-istri harus sama-sama bertumbuh dalam memandang dari pikiran Allah (firman-Nya).

Kepincangan rohani menimbulkan pandangan yang pincang pula. Salah satu menerima dengan ikhlas karena memandang kepada Allah, yang lainnya mungkin belum mencapai pemahaman itu. Di situ mulai timbul konflik.

Perspektif manusia tentang ketiadaan anak begitu kompleks. Memandang ketiadaan anak dari sudut pandang apa kata orang atau apa kata dunia, makin membuat ketiadaan anak seolah adalah malapetaka.

Melihat keluarga lain yang memiliki anak, mendengar apa kata orang tentang ketiadaan anak dalam rumah tangga, termasuk pikiran tentang harta warisan terkadang juga ada dalam prinsip harus ada anak, dan lain sebagainya.

Lebih parah lagi, bila tuntutan ada anak melibatkan keluarga besar kedua belah pihak. Belum lagi masalah tradisi di dalam keluarga terkait budaya atau mungkin juga kepercayaan tertentu. Semua itu membuat hal ketiadaan anak kerap menjadi masalah yang super serius.

Akhirnya, bukan tidak ada anak yang membuat tidak bahagia melainkan semua tuntutan itulah yang membuat tidak bahagia. Ekspektasi yang besar dan rongrongan tuntutan menjadi tekanan yang amat berat.

Entah kita sadari atau tidak, bukan Tuhan yang merumitkan hidup kita, kitalah yang membuat hidup yang dianugerahkan-Nya menjadi rumit oleh karena perspektif manusia dan dunia.

Tanpa sadar, kita menempatkan Tuhan sebagai yang salah. Benarnya harus ada anak. Sementara anak adalah karunia-Nya semata. Jadi, bila tidak ada anak, Tuhanlah yang salah. Karena salah Tuhan, maka masalah timbul di antara manusia. Seperti itukah?

Jikalau kita memandang kenyataan hidup hanya dari perspektif manusia dan dunia semata, maka tidak ada hati yang sanggup bersyukur di dunia ini. Hidup akan dipenuhi keluhan. Mengapa begini, mengapa begitu. Harusnya begini, harusnya begitu.

Hanya dengan memercayai hati Allah, bahwa Allah itu sayang kepada umat-Nya, dan bahwa pemikiran-pemikiran-Nya yang berlaku di hidup kita adalah baik adanya akan membuat kita dapat mensyukuri kenyataan apa pun itu sebagai suatu proses Tuhan untuk membentuk kita menjadi pribadi yang berkenan kepada-Nya dan untuk membawa kita kepada kebahagiaan yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun