Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siluet Pinokio Tempo dalam Sindrom Halusinasi dan Ilusi

18 September 2019   04:14 Diperbarui: 18 September 2019   15:52 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Laboratory Equipment

Halusinasi berasal dari kata kerja Latin: hallucinari, yang berarti: "berkeliaran di pikiran". 

Halusinasi berdasar pada persepsi terhadap apa yang dilihat atau didengar atau dirasakan sementara apa yang dilihat atau didengar atau dirasakan itu tidak ada wujud fisiknya, atau istilah psikologisnya: tidak disebabkan oleh stimulus eksternal.

Kita lihat contohnya pada arti kata "halusinasi" di KBBI: "pengalaman indra tanpa adanya perangsangan pada alat indra yang bersangkutan, misalnya mendengar suara tanpa sumber suara tersebut."

"Mendengar suara tanpa sumber suara tersebut". Misalnya, Anda sedang sendirian di kamar. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di dalam rumah, sementara di rumah itu tidak ada orang lain kecuali Anda sendiri.

Adalah benar Anda mendengar suara. Anda tidak berbohong tentang mendengar suara itu. Namun, realitasnya [KBBI] - bukan 'realita' - adalah tidak ada wujud fisik sumber suara itu, yakni tidak ada manusia lain di dalam rumah itu yang darinya suara itu bersumber. Itu halusinasi.

Catatan: bila dalam tulisan saya sesekali ada seperti ini: "realitasnya [KBBI] - bukan 'realita'", itu bukan karena saya pakar Bahasa Indonesia, tetapi itu karena saya juga baru tahu kalau kata bakunya seperti itu :D, dan saya bagikan di tulisan saya dengan cara seperti itu untuk membedakan cara penulisan saya yang lama dengan yang seharusnya. Siapa tahu ada pula yang baru tahu seperti saya. Ya, kaaan... :)

Oke. Lanjut. Contoh lain. Nenek sudah meninggal. Saya melihat nenek sedang duduk di teras. Secara fisik, nenek sudah tidak ada lagi, tetapi mata saya melihat bahwa itu nenek. Itu halusinasi, sebab faktanya nenek sudah meninggal. Logisnya begitu.

Jadi, secara sederhana, halusinasi adalah sesuatu yang ada dalam pikiran dari hasil tangkapan pancaindra (melihat, mendengar, mencium, merasakan), tapi wujud fisik sesuatu itu tidak ada.

Agar lebih jelas, kita bedakan dengan ilusi. Ilusi adalah kebalikan dari halusinasi. Jika halusinasi wujudnya tidak ada, maka ilusi ada wujud fisiknya, tetapi "menipu" atau memberi interpretasi yang keliru.

Misalnya: fatamorgana. Melihat air di padang pasir, padahal itu adalah pembiasan cahaya berwarna kebiruan yang melewati lapisan udara dengan kepadatan yang berbeda. Fisiknya ada, yakni cahaya berwarna kebiruan itu, tetapi ilusi optik melihat itu adalah air.

KBBI mengartikan ilusi adalah "1 sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; 2 pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; 3 tidak dapat dipercaya; palsu."

Contoh lain dari ilusi ada pada lagu penyanyi era 90-an, Mayang Sari, berjudul "Kusalah Menilai". Penggalan syairnya: "Biar kusimpan rasa kecewa ... Mungkin ini semua kesalahanku menilai dirimu". Tertipu dalam mengidentifikasi obyek yang dirasakan atau tertipu dalam mengidentifikasi sifat-sifat dari suatu obyek.

Atau, contoh lain serupa ilusi adalah DPR. Disebut Dewan Perwakilan Rakyat. Realitasnya, mereka lebih sebagai Dewan Perwakilan Partai, sebab sikap dan keputusan mereka acapkali lebih mengedepankan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat. Serupa ilusi, yakni seakan "ditipu" dengan kata 'rakyat'.

Sebenarnya ada contoh buktinya. Suara penolakan terhadap Revisi UU KPK begitu masif dari berbagai lapisan masyarakat. Para akademisi, serta pakar dan praktisi hukum pun bersuara. Akan tetapi, semua itu mereka anggap tidak pernah ada.

Bahkan, awalnya tidak satu pun fraksi di DPR yang menyuarakan aspirasi rakyat yang juga pernah begitu masifnya menolak revisi itu pada upaya revisi I (2017). Belakangan, barulah Fraksi Gerindra dan PKS tampil seolah ingin menjadi pahlawan - sayang - kesiangan.

"If you understand hallucination and illusion, you don't blindly follow any leader. You must know if the person is sane or insane." (Marguerite Young) [Jika Anda memahami halusinasi dan ilusi, Anda tidak secara buta mengikuti pemimpin mana pun. Anda harus tahu, apakah orang itu waras atau tidak waras]

***

"A hallucination is fact, not an error; what is erroneous is a judgment based upon it." (Betrand Russell) [Halusinasi adalah fakta, bukan kesalahan; yang salah adalah penilaian berdasarkan halusinasi] 

Dua contoh:

Penilaian Berdasarkan Halusinasi Brand Rokok

Saya tidak lagi menyebut brand atau merek rokok yang sempat jadi polemik, karena kedua belah pihak yang berseteru telah bersepakat dengan kemenangan di pihak KPAI. Audisi Bulu Tangkis PB Djarum tetap berjalan tanpa logo dan merek "Djarum". 

Syukurlah, sebab bila saya ikut berpolemik ketika itu, tujuannya adalah PB Djarum tidak berhenti berkiprah untuk ikut membina anak-anak negeri ini menjadi anak-anak yang sehat dan berprestasi di bidang olahraga bulu tangkis.

Kembali ke topik. Ada gambar rokok bermerek "XXX". Itu rokok. Ya, benar. Ada gambar rokok di situ. Walau wujud fisik rokok itu sendiri tidak ada, tapi gambar fisik rokok itu ada di situ.

Lalu, ada tulisan "XXX" tanpa gambar dan tanpa produk rokok itu sendiri. Tidak ada wujud fisik rokok pada tulisan "XXX", tapi pikiran mengatakan: "Itu rokok".

Tidak ada yang salah dengan tulisan itu, yang salah ketika kita menilai berdasarkan halusinasi, yakni menghakimi tanpa bukti, tetapi hanya berdasar pada pikiran semata.

Penilaian Berdasarkan Halusinasi Siluet Pinokio
Sampul majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 menampilkan ilustrasi wajah Jokowi dengan latar siluet Pinokio atau gambar berwarna gelap berbentuk serupa Pinokio, yakni karakter fiksi dalam dongeng The Adventure of Pinocchio (1883) atau Petualangan Pinokio karya Carlo Collodi.

Ada yang memandang bahwa itu penghinaan terhadap simbol negara, yakni Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia.

Saya pun memerhatikan sampul majalah Tempo tersebut. Ada dua gambar utama di situ, yakni gambar wajah Jokowi dan siluet serupa Pinokio. Keduanya terpisah. Siluet Pinokio membayangi wajah Jokowi.

Gambar hidung Jokowi biasa saja. Selayaknya Jokowi apa adanya. Tidak ada yang diutak-atik dari gambaran wajah Jokowi sebagaimana adanya. Berbeda halnya bila gambar Jokowi sendiri yang gambar hidungnya dipanjangkan serupa hidung Pinokio.

Lalu, ada yang berkata, tapi tentulah itu dimaksudkan adalah Jokowi, sebab siluet Pinokio itu dijadikan bayangan wajah Jokowi.

Coba lihat gambar tajuk artikel ini [di atas]. Si tikus melihat bayangan tubuhnya berwujud kelelawar. Mungkinkah tikus berbayang kelelawar? Atau, mungkinkah bayangan tubuh manusia berbeda dari bentuk tubuhnya?

Bayangan tubuh manusia pastilah berbentuk manusia sama seperti garis tubuhnya. Kalau saya pesek, bayangan hidung saya mengikuti pesek saya. Tidak mungkin saya pesek, tetapi bayangan saya berhidung mancung.

Jadi, karena bayangan wajah Jokowi sama sekali tidak ada di situ, maka siluet Pinokio itu bukanlah Jokowi. Namun, mengapa ada yang mengatakan itu Jokowi? Itu karena pikirannya menyatukan gambar itu. Bukti fisiknya ada dua, tetapi ia melihat itu adalah satu.

Apakah gambar itu ilusi? Tidak. Sebab, memang ada dua gambar berbeda di situ dan masing-masing sesuai dengan karakternya. Yang membuat itu terlihat satu adalah halusinasi.

Jadi, siapa yang menghina? Siapa yang menyatukan dua gambar yang terpisah dan jelas berbeda itu, dialah yang menyamakan Jokowi dan Pinokio, maka dialah yang menghina Jokowi. Ia menilai berdasarkan halusinasi.

Saya pribadi lebih memandang kedua gambar itu sebagai salah satu bentuk kritik yang dibuat dengan sangat kreatif, bahkan saya melihatnya sebagai a smart illustration. Di situ:

Bukan Jokowi berbayang Pinokio, tetapi bayang Pinokio-lah yang membayangi Jokowi. 

Pinokio di situ sedang membayangi Jokowi dengan bayangannya. Jokowi sedang dibayangi peringatan untuk tidak melupakan janji-janjinya. Jika ilustrasi itu dipandang positif, maka Jokowi akan jauh lebih baik lagi dalam memimpin bangsa ini. Dan, itu harapan kita semua.

***

Terkadang kita menjebak diri kita sendiri pada apa yang kita pikirkan, bukan pada kenyataan yang ada, bahkan tidak sedikit orang yang tidak menyadari bahwa ia sedang dipenjarakan oleh pikirannya sendiri dan dihasut oleh pikirannya sendiri, antara lain menghakimi dengan pikiran semata.

Dalam iman Kristen, untuk memperkarakan seseorang atas dugaan kesalahan yang dibuatnya, itu pun harus memiliki minimal dua saksi, apalagi bila hanya berdasarkan pikiran semata, jelas itu bukan kehendak Tuhan. Dan saya yakin, tidak ada ajaran agama yang mengajarkan umat memberi hukuman atas pikiran semata.

Apakah karena begitu banyaknya persoalan di negara ini sehingga banyak orang pun menjadi kurang tidur sehingga timbullah halusinasi dan hadirlah ilusi ? Entahlah. Lebih baik saya meminjam quote Scott Adams:

"I respectfully decline the invitation to join your hallucination."

[Dengan hormat, saya menolak undangan untuk bergabung dengan halusinasi Anda]

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun