Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

[Seputar Vikaris] Selamat Jalan, Vikaris Melinda

29 Maret 2019   19:48 Diperbarui: 30 Maret 2019   15:10 1811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
olahangambar:wikihow&covesia [dokpri]

Itulah juga salah satu dasar pertimbangan seorang Vikaris di tempatkan di jemaat yang ada di perdesaan, yakni gereja yang jumlah anggotanya jauh lebih kecil dari yang ada di kota. Vikaris harus melatih dirinya pada lingkup yang kecil terlebih dahulu.

Pada saat yang sama, seorang Vikaris terlatih untuk tidak hidup dalam kemudahan dan kenyamanan dalam hal medan pelayanan dan ketersediaan fasilitas yang lengkap seperti mereka yang hidup di kota.

Apalagi pada zaman saya menjadi Vikaris. Ketika ban motor kempes, saya harus mendorong motor itu sejauh 5 km untuk mendapati tempat tambal ban. Jalanan sepi bukan aspal. Di kiri kanan hanya hutan belukar. Tidak rata, tetapi naik turun. Saya mendorong motor itu sendirian.

Saya pun sudah biasa bangun di pagi hari dengan lubang hidung hitam sebab pada saat itu listrik belum masuk ke desa itu. Kami menggunakan lampu minyak buatan "dalam negeri", yakni lampu dari kaleng bekas minuman dengan sumbu kompor dan minyak tanah. 

Rumah-rumah jemaat tidak semua di sekitar lokasi gereja. Jarak satu rumah ke rumah lainnya berjauhan. Ada yang tinggal di persawahan. Ada yang di gunung. Tak bisa dengan kendaraan. Sepeda pun tidak. Hanya dengan kaki.

Untuk daerah persawahan, biasanya saya memakai sepeda. Memarkir sepeda di rumah penduduk, lalu masuk berjalan kaki melintasi hutan kecil menuju ke rumah mereka yang berada dekat dengan sawah atau di tengah sawah.

Terkait sawah, saya tidak akan pernah lupa, bagaimana suatu ketika, pada waktu lewat tengah malam, saya melihat dari kejauhan api besar menyala di sebuah rumah jemaat di tengah sawah.

Di kolong rumah mereka ada tumpukan gabah kering. Lampu minyak yang mereka gunakan jatuh ke kasur. Api sulit dipadamkan karena berkarung-karung gabah kering di bawah kolong rumah itulah yang membuat api menjadi begitu besar dan melahap habis seluruh rumah sawah itu.

Saya berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satu pun orang yang mendengar karena rumah penduduk berjarak sekian kilometer. Hanya saya dan sepupu saya, namanya Noce -- Saya akan mengirimkan artikel ini ke dia. Pasti ia pun tidak melupakan peristiwa tragis nan pilu itu.

Tergopoh-gopoh dengan beberapa kali terjatuh di sawah karena pematang yang licin, tidak perduli! Dengan badan yang telah berlumpur sawah, saya terus saja berlari menuju pusat api dengan mengangkat rok panjang yang saya kenakan. Gelap. Hanya cahaya api yang memberi sinaran bagi kami melihat tumpuan kaki kami.

Kira-kira berjarak 10 meter, tetiba saya mendengar suara letupan yang sangat keras. Terlihat sang ibu lari ke luar dengan menggendong bayi. Sedangkan, suaminya, karena panik, berlari ke luar dengan bantal guling di tangannya. Setelah sadar itu bukan anak perempuannya, ia masuk ke dalam api hendak mengambil anak sulungnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun