Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kepala Lebih Tinggi dari Topi

8 Juli 2018   17:58 Diperbarui: 25 Januari 2019   03:08 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia dan Topinya

Manusia lahir tanpa topi di kepalanya. Hanya kepala. Di hari hidupnya kemudian, barulah topi itu ada di kepalanya. Diperoleh ketika sudah berada di dunia dan hanya selama di dunia.

Sebab, ketika masa hadir di dunia telah berakhir, saat manusia harus menutup mata selama-lamanya, topi itu tidak menyertainya. Manusia terlahir hanya dirinya, demikian juga manusia mati hanya dirinya.

Topi yang dimaksud di sini bukanlah topi dalam arti sebenarnya. Topi di sini adalah kiasan bagi kedudukan; jabatan; pangkat; status yang tinggi yang diperoleh dan dimiliki oleh manusia saat ia berada di dunia.

Ketika topi itu ada di kepalanya, itu berarti, ia memiliki apa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semua manusia punya kepala, tapi tidak semua manusia punya topi.

Topi itu tidak simsalabim ada di atas kepala manusia. Seperti telah dikatakan di atas, manusia lahir tanpa topi, maka bila kemudian ia mempunyai topi, itu diperolehnya dengan beberapa cara.

1. Topi warisan keluarga.

Teori sosial menyebut ini: Ascribed Status, yaitu status sosial yang didapatkan oleh seseorang dengan sendirinya berdasarkan faktor keturunan. Misalnya:

  • Warisan darah biru (kebangsawanan), yang mengalir di tubuhnya dari ayah atau ibu.
  • Warisan harta kekayaan keluarga yang diberikan kepadanya. Tanpa berusaha menjadi kaya, ia telah kaya.
  • Warisan usaha keluarga yang memberikan status kepemilikan usaha. Ia tidak memulainya dari nol. Ia tinggal melanjutkan yang sudah ada. Ia menjadi pengusaha tanpa perlu banyak usaha.

2. Topi hasil perjuangan kerja, usaha dan karya.

Segala kerja, usaha, dan karya dimulai dari nol. Hingga pada suatu ketika semua itu beroleh penghargaan dan penghormatan.

Topi itu diperolehnya dengan jerih dan juang. Teori sosial menyebut ini Achieved Status, yaitu status sosial yang diperoleh dengan diperjuangkan terlebih dahulu. Misalnya:

  • Perjuangan menempuh pendidikan menghasilkan gelar pendidikan yang tinggi.
  • Perjuangan merintis kerja, usaha, dan karya dari nol dan terus meningkat dan berkembang sehingga menghasilkan pendapatan yang juga  terus meningkat hingga akhirnya menjadi kekayaan baginya.
  • Perjuangan menekuni karier dan profesi hingga akhirnya mendudukan dia pada posisi, kedudukan, dan jabatan yang tinggi, dan lainnya.

3. Topi penghargaan atau penghormatan.

Diberikan oleh masyarakat atau negara atau dunia sebagai tanda penghormatan dan penghargaan atas karya atau pengabdian atau jasa atau prestasi yang membanggakan dan mengharumkan nama bangsa dan negara.

Teori sosial menyebut ini Assigned status. Misalnya:  gelar kepahlawan, gelar penganugerahan tanda jasa, bintang, satyalacana, nobel, purtlizer, grammy, dan lainnya.

Demikianlah manusia beroleh topi di atas kepalanya yang membuatnya beroleh status tersendiri di dalam masyarakat. 

Manusia dan Kepalanya

Tidak ada yang salah dengan topi-topi itu. Topi-topi itu tidak membedakan manusia. Topi-topi itu hanya memberi tempat yang berbeda di antara manusia. Tempatnya yang berbeda, tetapi manusianya tidak.

Tempat, dalam hal ini status sosial, yang berbeda tidak membuat manusia itu menjadi berbeda dari manusia lainnya. Manusia yang tinggal di istana dan manusia yang tinggal di bawah kolong jembatan, keduanya manusia. Ketika bertukar tempat, yakni yang dari bawah kolong jembatan pindah ke istana dan sebaliknya, maka masih tetap sama, yakni manusia.

Bukan topi yang membedakan manusia, tetapi kepala manusia-lah yang membedakan manusia karena topinya.

Di satu sisi, topi itu memberi kebaikan dan keuntungan bagi manusia. Namun, pada sisi lain, topi itu bisa membahayakan diri pemiliknya, karena topi-topi itu cenderung membuat manusia menjadi tinggi hati; sombong; angkuh.

Topi di kepala manusia cenderung mendongkrak hati manusia menjadi tinggi hingga mendorong kepalanya lebih tinggi dari topinya.

Manusia bertopi cenderung memandang dirinya lebih tinggi dari manusia lainnya bahkan bisa menganggap diri punya hak berkuasa atas manusia lain seolah-olah manusia tak bertopi tak punya Pencipta. 

Andai saja kita tidak akan mati, tetapi kita semua akan mati dengan tanpa topi seperti ketika pertama kali kita ada di dunia ini tanpa topi.

Orang beriman akan memandang topi di atas kepalanya adalah anugerah Tuhan bukan untuk membuat ia tinggi hati; sombong; angkuh, melainkan supaya ia makin berkenan kepada Tuhan.

Tidak sedikit hati yang menjadi merasa sedih, sakit, dan terluka karena kesombongan; keangkuhan; tinggi hati manusia. Mungkin kita tidak tahu itu. Mungkin kita tidak mendengar keluhannya. Mungkin kita tidak melihat tetesan air matanya.

Akan tetapi, Tuhan melihat itu semua. Sadar atau tidak sadar, tahu atau tidak, kesombongan; keangkuhan; tinggi hati hanya meninggalkan goresan di hati manusia. 

Kepala takkan mendongak, bila hati merendah. Topi takkan menyakiti, bila hati mengasihi.

Semoga kepala kita tidak lebih tinggi dari topi kita.

Salam. HEP.-

Senandika: 1  | 2 | 3-8 | 9-15 | 16 | 17-21 | 23 | 24 | 25 | 26-27 | 28

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun