Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Reputasi Kaya

26 Juni 2018   00:19 Diperbarui: 24 Januari 2019   14:45 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:images.clipartuse

Derita orang yang dari sononya sudah susah tidak kalah dengan derita orang kaya yang baru jadi susah.

Orang miskin dari awal bisa duduk makan di Warteg, tetapi orang kaya baru miskin, beli lauk di Warteg makannya di rumah. Jangan sampai diketahui orang bahwa sudah susah, sebab reputasi "Orang Ada Uang" sudah terlanjur melekat pada diri atau keluarga. 

Walau isi dompet sudah sisa ribuan, tetapi penampilan tetap harus terlihat "mewah". Termasuk memakai perhiasan imitasi serupa emas berlian, karena yang asli sudah terjual atau tidak bisa lagi ditebus dari gadaian. Anehnya, karena diketahui kaya, orang umumnya tidak menyangka bahwa itu emas bodong. Untungnya disitu.

Itu adalah penderitaan. Derita mantan orang kaya secara psikis sangat berat. Reputasi kaya menuntut orang kaya untuk tetap kaya. Tidak ada yang tahu betapa banyaknya utang demi mempertahankan citra kaya itu. Tidak ada yang menyangka, bahwa yang miskin malah menikmati makanan yang nikmat dari mereka.

Harta benda diam-diam telah terjual. Perhiasan dan barang berharga sudah tergadai dan tak dapat tertebus lagi. Tagihan kredit ini dan itu merongrong. Namun, apapun yang terjadi tampil kaya harus tetap terlihat, walau sesungguhnya sudah sekarat.

Bila rendah hati pastilah akan tampil apa adanya tanpa malu. Namanya juga hidup di dunia tidak ada yang abadi. Akan tetapi, kekayaan cenderung membuahkan kesombongan dan kesombongan seolah hendak mengubah takdir ketidakabadian dunia menjadi abadi bagi dirinya sendiri.

Itu tidak mungkin. Sebab, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya" (Pkh 3:1). Dulu kaya. Sekarang, waktunya orang lain yang kaya.

Bila berhikmat, bukan kekayaan yang hendak diambil oleh Yang Mahakuasa dengan mengijinkan si kaya menjadi miskin, tetapi kesombongan di hati, itulah yang mau ditiadakan.

Baiklah kita membiasakan diri menarik garis vertikal antara diri kita dan Yang Mahakuasa untuk mengerti apa yang dimaksudkan-Nya dengan kenyataan yang terjadi di hidup kita.

Terkadang, kita harus kehilangan apa yang berharga di mata dunia jika itu membuat kita jauh dari surga-Nya. Reputasi kaya memang memberi tempat mulia di dunia, tetapi kesombongan tidak punya tempat di akhirat.

"Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Mat 16:26).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun