Di kamar yang tidak terlalu besar namun perabotannya tertata apik, tampak seorang gadis sedang merebahkan diri.
Sebuah lampu meja yang memancarkan sinar temaram berdiri tegak di samping tempat tidur. Suasana keheningan malam semakin melekat diiringi dengan senandung suara binatang malam yang menyengap.
Udara malam kian dingin seakan menembus seluruh pori-pori kulit hingga aliran darah yang membeku.
Dialah Annisa Karainan Atmaja. Seorang gadis muda berusia 23 tahun yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di sebuah Lembaga Pendidikan setara Diploma I.Â
Meskipun terlahir sebagai anak tunggal dan berasal dari keluarga yang cukup berada di kampungnya, Rainan tetaplah seorang gadis yang mandiri dan cerdas.
Sepeninggal ayahnya tiga tahun yang lalu, kini dia hanya hidup berdua dengan seorang ibu yang usianya sudah mulai senja.
Jujur, sebenarnya Raihan merasa enggan untuk menuju kamar mandi guna mengambil air wudhu sebelum menunaikan salat Isya' kala itu.
Rasa kantuk yang menempel di kedua pelupuk mata, dingin yang menyelimuti sekujur tubuh, dan penat yang melemahkan pikiran seakan memaksanya agar tetap rebahan di atas pembaringan yang terbuat dari kayu jati berukir khas Jepara.
Jam di dinding masih berdetak seperti bunyi degup jantung Rainan yang teratur. "Intan, ayo bangun dulu, Nak. " Seorang wanita tua yang masih terlihat ayu membangunkannya dengan suara lembut dan penuh kasih.
Seketika itu juga, Rainan geragapan dan melihat ibunya sudah duduk di sebelahnya tidur. Dia masih merasa belum tidur dan hanya memejamkan mata beberapa saat saja.
Anehnya, dia tidak menyadari kehadiran ibu yang memasuki kamar dan membangunkannya. "Belum ke kamar mandi, baju kerja masih dipakai, kok sudah langsung tidur, " ucap ibu seraya menggantungkan jaket putri tunggalnya itu ke dalam rak gantungan baju.Â