Mohon tunggu...
Heni Pristianingsih
Heni Pristianingsih Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Mencari inspirasi hidup melalui kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika Takbir Bergema di Kampungku

19 April 2021   12:50 Diperbarui: 19 April 2021   12:55 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : monasnews.com

Mengingat kisah masa kecil, rasanya begitu indah dan menyenangkan. Apalagi ketika itu, kita masih didampingi oleh kedua orang tua tercinta. Andaikan saja waktu bisa berputar kembali. Suara takbir terdengar menggema bersahut-sahutan dari seluruh masjid dan musholla di sekitar tempat tinggalku. Lantunan Asma ALLAH terasa merdu dan seakan memenuhi ruang udara di kampungku. Suasana begitu meriah.  Semua umat muslim menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan penuh suka-cita. Nuansa Ramadhan benar-benar terasa hingga masuk ke relung hati. 

Sore tadi, ibu sudah membuat kue apam dan membeli pisang untuk acara Megengan. Sebuah tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan biasanya diawali dengan berziarah dan mendoa'kan ahli kubur, tasyakuran bersama di musholla, mengundang para tetangga ke rumah untuk mengirim do'a, atau sekedar berbagi makanan dengan para tetangga dan sanak famili. Di daerahku, mungkin para ibu hanya memasak dan membuat apam untuk dibagikan kepada para petangga saja. Itupun tidak semua tetangga melakukan. Suara takbir masih berkumandang hingga malam. Pertanda bahwa esok pagi akan diawali dengan puasa Ramadhan di hari yang pertama. Aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Terbayang bahagianya besok bangun pagi dan makan sahur. 

Sahur....sahur.....sahur.....sahur......., pagi itu sekelompok pemuda dan anak-anak berkeliling kampung membangunkan warga untuk makan sahur. Mereka memukul-mukul kentongan dan alat musik lain sehingga suasana menjadi ramai. Suara kentongan itu membentuk alunan lagu yang enak terdengar di telinga. Setidaknya mampu menghilangkan rasa kantuk yang masih menempel pada kelopak mata. "Bu, aku puasa bedug (Jawa : siang) ya," tanyaku pada ibu. "Iya." Ibu menjawab sambil meletakkan sepiring nasi buatku di atas meja.  Usiaku sekitar 6 - 7 tahun ketika itu dan masih belajar berpuasa. Kami segera berhenti melakukan aktifitas makan ketika mendengar suara Imsya' sebagai peringatan dari musholla bahwa batas makan sahur sudah selesai. 

Setelah itu sholat Subuh, aku dan teman-teman tidak tidur lagi. Kami tinggal di sebuah pemukiman padat penduduk di tengah kota. Pertokoan, taman kota, pasar, dan berbagai tempat umum lain merupakan lingkungan sekitar tempat tinggal kami. Aku dan teman-teman berencana untuk berjalan-jalan. Sekolah kami sedang libur awal puasa. Di sepanjang jalan kampung, sudah banyak orang yang melakukan kegiatan berjalan kaki dan olahraga. Kegiatan rutinku bersama teman-teman yaitu berjalan pagi setiap selesai makan sahur dan sholat Subuh. Kadang kami berjalan-jalan di pinggir jalan protokol dan sekali waktu kami juga berjalan-jalan menyusuri gang-gang kelinci yang ada di lingkungan sekitar. Tidak ada sawah atau ladang seperti suasana pedesaan. Untungnya masih ada sungai tempat kami bermain di saat merindukan suasana alam. Pengalaman masa kecil yang menyenangkan walau kadang aku merasa cemas jika jalannya terlalu jauh dengan rumah. 

Siang hari, aku dan teman-teman masih melanjutkan kegiatan bermain. Kebetulan di depan rumah ada tanah kosong yang kami gunakan untuk tempat bermain. Hanya itu tempat yang paling luas satu-satunya bagi kami untuk bisa bermain. 

Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain berhimpitan. Biasanya kami bermain lompat tali, petak-umpet, krupukan, patil lele, bektor, dan permainan tradisional anak yang lain agar bisa  melupakan rasa lapar dan haus kami karena berpuasa.

Puas bermain, kami pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, Endah, salah satu temanku bertanya,"Nanti kita sholat Tarawih dimana? " Temanku yang lain membalas ,"Masjid Darussalam saja yang di dekat pasar." Setelah menentukan waktu, kamipun membubarkan diri. Aku memasuki rumah dengan menahan rasa haus yang semakin kuat. Untuk mengurangi rasa haus itu, aku biasanya merebahkan diri di atas lantai. 

Dinginnya ubin seakan menyusup ke pori-pori kulit punggung. Tak berapa lama kemudian, perutku terasa keroncongan juga. "Sebentar lagi waktunya berbuka," ujar ibu memberi semangat. 

Setelah mandi sore, biasanya aku duduk sambil mendengarkan radio "jadul" (jaman dulu) yang berbentuk kotak besar. Begitu terdengar suara adzan Maghrib, aku segera mengambil kolak atau es buah/cendol yang sudah dibuat ibu tadi siang. 

Tenggorokanku seketika terasa segar. Setelah sholat, aku dan keluargaku berbuka puasa bersama hingga suara adzan Isya' terdengar. Segera aku mengambil air wudhu dan membawa peralatan sholatku. 

Di depan rumah, teman-teman sudah berkumpul. Kami pergi sholat Tarawih bersama-sama. Usia kami hampir sebaya atau selisih beberapa tahun saja di atasnya. Kami terbiasa hidup rukun. Karena kami tinggal di perkampungan padat, rasa persaudaraan di antara kami semakin erat. Kadang memang ada perselisihan yang timbul, namanya juga anak-anak. Namun tidak lama setelah itu pasti akan akur lagi. 

Kami suka bertarawih keliling. "Biar ada suasana baru," ujar Erni salah satu temanku yang usianya lebih tua. Adzan masih berkumandang dimana-mana ketika kami melangkahkan kaki menuju masjid yang dibicarakan tadi siang. Jaraknya kurang lebih setengah kilometer dari rumah. Sebenarnya aku khawatir jika diajak mereka bertarawih terlalu jauh dari rumah. Namun kekhawatiran itu terkalahkan oleh rasa kesetiakawanan yang tumbuh pada diri kami. 

Sesampai di masjid, belum banyak jamaah yang datang. Namun salah satu ibu jamaah meminta kami untuk berada di shaf paling belakang. Maklum, anak-anak kalau sholat pasti suka bergurau. "Kalau waktu sholat ramai, nanti tidak boleh sholat di sini lagi lho," lanjut ibu tadi. Aku yang baru hari itu diajak teman-teman Tarawih di masjid tadi terdiam. "Mungkin mereka sudah membuat gaduh sebelumnya," gumamku. Segera kami merapikan shaf di barisan belakang. Saat itu, aku masih belum memiliki mukenah. Sehingga aku menggunakan sarung ayah untuk sholat. Dengan bantuan teman yang mengikatkan sarungku seperti model ninja dan menutupi seluruh badanku, aku mengikuti sholat Isya' dan dilanjutkan dengan Tarawih.

Pada awalnya semua berjalan dengan tertib. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi...........tttiiiiiuuuuttttsssss.......Sebuah bunyi kentut yang panjang dan melengking tidak mampu menahan kami untuk tidak tertawa. Suasana sholat yang tadinya khusyuk seketika berubah menjadi gaduh. Sebelum dimarahi orang-orang, kamipun segera mengemasi peralatan sholat dan kabur. Sebab janji kami untuk tidak berbuat kegaduhan ternyata gagal. Di tengah perjalanan pulang, kami mendapati sekelompok anak-anak yang sedang bermain petasan. Aku sebenarnya kurang suka melihat anak yang bermain petasan. Selain suaranya yang berisik, agak membahayakan juga. Salah satu kerabat dari ibuku pernah kehilangan tangan akibat permainan ini. Aku lebih suka menyalakan kembang api atau kembang tetes dan memukul dompis.

Tiba di rumah, ibu menyodori aku sebuah bungkusan. Karena penasaran, akupun segera membukanya. "Horeee, mukenah baru," seruku kegirangan. Ternyata secara diam-diam, ibu menjahitkan mukenah buat aku di nenek Endah, tetangga kami. Akupun merasa bahagia karena hadiah ini. Sholat Tarawih besok, aku sudah tidak memakai sarung ayah lagi. Tanpa terasa, air mata menggenang di kedua sudut mataku. Ada kesenduan yang seakan mengalir menuju ruang hatiku. Rupanya, aku tengah merindukan ibu. Beliau adalah sosok perempuan terhebat yang pernah aku miliki dalam hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun