Mohon tunggu...
Heni Susilawati
Heni Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - life with legacy

senang menulis tentang politik, demokrasi dan pemilu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Patologi Demokrasi Elektoral

16 November 2020   17:30 Diperbarui: 16 November 2020   17:37 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hitungan beberapa hari kedepan, 270 daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak akan menyongsong tahapan pemungutan suara. Pelaksanaan pemberian suara di TPS yakni hari Rabu tanggal 9 Desember 2020. 

Sebagai mekanisme sirkulasi elit yang rutin digelar setiap lima tahun sekali, momentum pemberian suara merupakan kesempatan yang teramat berharga bagi para pemilih untuk ikut menentukan jalan perubahan masa depan daerah yang bersangkutan. 

Langkah kaki mereka menuju bilik suara memiliki makna strategis bagi keterpilihan pasangan calon yang akan mengemban amanah tampuk kepemimpinan lima tahun kedepan. 

Pemilih adalah pemegang kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Mereka yang hadir di TPS akan memberikan mandat kepada para calon pemimpin yang dipandang layak untuk mengelola pemerintahan. Pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan pasangan calon mana yang akan dicoblos di TPS. 

Namun sayangnya, pengetahuan akan hak politiknya sering kali tidak merata pada setiap pemilih. Dan integritas pemilih pun sangat berpotensi tercedrai dengan praktek politik uang yang dilakukan paslon dan timnya. 

Wajah demokrasi elektoral kita seolah belum bisa lepas dari belenggu patologi yang akut dan punya daya rusak dalam jangka panjang. patologi demokrasi elektoral itu bernama politik uang. Ulasan para ahli yang didukung dengan hasil survei sejumlah lembaga menunjukan betapa permisifnya para pemilih terhadap praktek politik uang. Dan tentu ini kabar buruk bagi masa depan demokrasi, kabar buruk bagi masa depan daerah yang bersangkutan pasca paslon terpilih.

LIP pada tahun 2019 menyebutkan 40% menerima uang dari kandidat, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Selanjutnya 37 % menerima pemberian calon dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Dan temuan juga mengungkap  83% survei tokoh yang menilai bahwa pemilih mempertimbangkan pemberian uang, barang, atau jasa dari calon legislatif atau partai politik yang mereka terima saat memilih. Senada dengan LIPI, lembaga Charta Politika menyebutkan 45,6% responden memaklumi politik uang, 39,1% tidak memaklumi dan 15,4% tidak tahu atau tidak menjawab. 

Muhtadi (2019) menyebutkan proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran angka 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang itu sangat tinggi menurut standar internasional dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia. Sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote.

Sejumlah catatan mengemuka mengenai faktor penyebab politik uang yakni karena alasan ekonomi. Faktor lain juga disebut karena faktor budaya"ga enak" menolak pemberian. Sering juga terdengar, alasan kapan lagi menerima perhatian dari kandidat; jika sudah terpilih pasti akan lupa kepada pemilih. Sementara itu di sisi kandidat, juga mengemuka alasan ketatnya persaingan meraih dukungan pemilih mendorong mereka untuk all out menggelontorkan instrumen finansial. Selain soal ketatnya persaingan, juga karena kandidat tidak punya program atau bahkan kurang dikenal.

Praktik politik uang sesungguhnya mencerminkan rendahnya moralitas baik penerima maupun pemberi. Pemilih sudah merendahkan mandat mereka dengan harga yang tidak seberapa. Ini bukan soal besar atau kecilnya pemberian dalam politik uang. 

Bahaya lainnya yakni hilangnya kesempatan uantuk bersama menyusun agenda perubahan yang bersifat deliberatif dan problem-solving oriented. Ancaman pidana pemilu nampaknya perlu terus digaungkan agar langkah-langkah pencegahan praktik politik uang dapat secara nyata berdampak pada kesadaran politik dan kesadaran hukum warga untuk tegas menolak politik uang. Pilkada yang sarat dengan politik uang hanya akan melanggengkan korupsi. Politik uang itu ibunya korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun