Mohon tunggu...
Hengky Fanggian
Hengky Fanggian Mohon Tunggu... Wiraswasta -

There Must be a Balance Between What You Read and You What Write

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bu Mega, Siapa Pilihanmu? Antara Keuntungan Politis dan Harga Diri

9 Agustus 2016   10:41 Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:45 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini merupakan bagian ke dua dari Trilogi, setelah artikel sebelumnya yakni “Ahok, Ngapain Lu Setelah Kalah”.

Mari kita mulai, siapa yg akan dipilih bu Mega ? Penulis sungguh2 tak tahu. Laaah kalau gitu ngapain bikin artikel bahkan judulnya aja begitu menohok. Sabar pembaca, mohon dimengerti politik itu hakikat nya amat dinamis, apalagi politik di Indonesia. Setiap hari dapat saja terjadi perubahan apalagi bila ada faktor external misalnya ada petinggi partai level daerah tsb (daerah yg akan lakukan Pilgub) yg terkena OTT atau ditetapkan sebagai tersangka. Maka peta perpolitikan dapat berubah cepat. Mari kita petakan calon yg mungkin dipilih bu Mega.

1. Yusril. Kalau tak ada gempa politik maha dahsyat, penulis tak dapat bayangkan beliau akan terpilih. Lantas gimana dengan Lulung, A Dhani, Wanita bergigi Emas dsb dsb, maaf penulis sedang berkonsentrasi serius, belum terbit selera untuk melucu.

2. Djarot Saiful Hidayat. Ini lebih mungkin daripada yg penulis sebut di atas, namun kalau untuk level gubernur untuk diadu dengan Ahok. Apakah bu Mega tega hati melakukan hal demikian itu.

3. Ridwan Kamil (RK). Bukankah beliau sangat serius dengan PDI, bahkan diberitakan bhw beliau sekarang sudah berjas merah. Mengeluarkan RK dari Jawa Barat bukan pilihan terbaik sebab PDI selama ini selalu saja kalah di daerah tsb. RK adalah calon potensial untuk menguasai Jawa Barat. Namun dalam politik tak ada yg mustahil, dalam situasi darurat mungkin saja beliau menjadi cadangan potensial. Jauh lebih potential daripada Yusril. Namun mengingat beliau bukan Aktor Utama maka penulis lebih berkonsentrasi pada aktor utama, kecuali Aktor Utama yg digadang-gadang ternyata akhirnya tidak mau maju.

4. Risma. Nah ini calon yg digadang-gadang banyak pihak yg tergabung dalam aliansi ABA (Asal Bukan Ahok). Sungguh aneh bahwa anggota aliansi ini ada yg berasal dari partai yg dulu lantang teriak2 bhw perempuan tak boleh jadi pemimpin. Apakah mereka sudah bertobat semua ataukah ini semua hanyalah manuver politik “The End Justify the Means” yah Time will tell. Mari berhitung untung rugi Risma maju dari sudut pandang PDI (jangan dari sudut pandang masing2 supporter dong). 

Risma maju dan menang, PDI untung peroleh posisi DKI 1 bukan sekedar DKI 2 seperti sekarang ini, apalagi bila calon wagubnya ternyata dari PDI, misalnya Djarot atau siapalah pokoknya dari PDI. Problem utama bagi PDI sesungguhnya justru ada di Jatim, bagaimana perasaan masyarakat Jatim atau Surabaya lebih spesifiknya. Dapatkah masyarakat sana benar2 iklas disuruh melepas Risma, mungkinkah masyarakat sana tidak merasa di anak tirikan ? Di dalam politik PASTI selalu ada yg kecewa ada yg tidak, pro kontra itu lazim yg terpenting adalah berapa prosentasinya. 

Celakanya hingga kini tidak ada survey untuk itu, itulah bahayanya  sebab ini ibaratnya disuruh melaju di dalam ke gelapan. Kekecewaan ini akan semakin mejadi-jadi bila ternyata Risma kalah. Di DKI kalah eeeh pulang kampung tak dapat lagi menjabat karena aturannya memang menetapkan demikian. Meski penulis bukan psikolog namun penulis masih dapat membayangkan kemungkinan besar akan adanya kekecewaan tsb. Harap diingat meskipun Risma bukanlah gubernur Jatim, namun Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jatim dan bu Risma memang sejak awal diunggulkan untuk menjadi calon gubernur Jatim.

5.Ahok. Kenapa Ahok, ada preferensi terhadap Ahok ? No, sebagai bloger pengamat, penulis merasa perlu untuk melepaskan segala preferensi agar adil & akurat dalam menganalisa. Jujur kata, Ahok sesungguhnya merupakan pilihan rasional yg paling aman. Karena dengan memilih Ahok, PDI tak perlu harus mencomot kepala daerah terbaiknya untuk diperhadapkan dengan Ahok, Jawa Barat, Jawa Timur hampir pasti dalam genggaman. Memilih Ahok dengan wakil dari PDI merupakan kalkulasi terbaik sebab ini adalah jabatan terakhir Ahok di DKI 1, maka wakil Ahok punya peluang sangat besar dalam Pilkada berikutnya. 

Masalah terbesar dengan Ahok itu adalah komunikasi politik, bu Mega sebagai orang yg kental adat Jawanya berkomunikasi dengan bahasa simbol, bahasa isyarat namun rupanya  Ahok tak dapat menangkapnya. Ini bukan tafsiran ngawur penulis namun justru inner circle bu Mega yg ngomong demikian. Penulis lihat miskomunikasi tsb sudah cukup parah, dengan adanya fenomena “Deparporlisasi” maka seolah olah posisi mereka menjadi diametral. Pernyataan Ahok yg ceplas ceplos tanpa sadar menambah runyam situasi tsb, apalagi diantara bawahan bu Mega tak semuanya bersimpati pada Ahok. Mereka yg tak suka tsb mencoba memblow up pernyataan Ahok menjadi statement yg kurang nyaman bagi teliga bu Mega. 

Penulis tak akan kaget bila akhirnya bu Mega menjatuhkan pilihan bukan pada Ahok. Yg namanya pilihan tak mesti harus selamanya berdasarkan kalkulasi obyektip untung rugi di bidang politik, nuansa perasaan dapat sangat menonjol sehingga menutupi seluruh pertimbangan rasional yg mestinya harus diambil. Apakah Jokowi dapat menjembatani situasi tsb ? Jokowi telah berusaha, itu terlihat dengan mempertemukan mereka di dalam satu mobil saat menuju ke acara partai Golkar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun