Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"A Man Called Ahok", Panduan Mendidik Anak Bangsa

21 November 2018   13:53 Diperbarui: 1 April 2019   17:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munculnya film "A Man Called Ahok" kembali mengingatkan publik akan sosok fenomenal Ahok waktu jadi Gubernur DKI Jakarta. Ahok yang suka meledak-ledak saat bicara, ngomong seadanya, dan tentu saja selalu ngomongin kepentingan rakyat DKI di setiap rapatnya (Youtube) sangat dirindukan oleh para penggemar fanatiknya, 42,05 % (2.351.438) warga DKI Jakarta yang memilihnya, bahkan mungkin juga oleh rival politiknya.

Istilah "Mantan Terindah" mungkin yang paling tepat untuk Ahok. Indahnya karena Ahok telah memberi banyak harapan perubahan bagi Ibu kota, setidaknya merubah wajah perpolitikan yang ada selama ini selalu dianggap busuk menjadi sesuatu yang sedap harum. Indah yang kedua karena Ahok memberi banyak shock terapy bagi ASN dan tikus kantor yang menjadi benalu bagi negara. Indah ketiga karena Ahok memberi banyak mimpi-mimpi indah para anak bangsa yang menginginkan persatuan dan kesederajatan di Bumi Indonesia.

"Kangen mantan," Euforia itulah yang penulis rasakan saat menonton film A Man Called Ahok.

****

Pendidikan karakter memang manjadi urgensi di dalam "Revolusi Mental" yang diangkat oleh Presiden Joko Widodo. Bermental yang dimaksud oleh Pakde Jokowi pun penulis rasa muaranya adalah "bermental negarawan yang menghidupi Pancasila".

Sudah banyak kajian yang menjabarkan dengan panjang lebar tentang pentingnya pendidikan karakter dan itu harus dimulai dari keluarga. Namun berdasarkan pengamatan penulis, pendidikan karakter seorang negarawan hampir tidak pernah dijalankan oleh keluarga. Setabunya berbicara tentang sex, topik seputar politik dan kenegaraan mungkin menempati urutan ke-2 dari semua perbincangan yang ada di dalam rumah.

Topik-topik yang sangat sering didengar anak mungkin pengalaman orang tuanya dahulu (orang tua sering cerita tentang hidupnya), family danorang-orang di lingkungan sekitar (yang mana baik/ tidak baik, apa yang mereka pernah perbuat/ capai, siapa yang penyakitan, dsb), memilih pasangan hidup (nasihat untuk mencari pasangan satu suku, seadat, isteri tidak boleh lebih tua dari suami, dll), kuliner (cara masak makanan ini dan itu/ masakan warisan), masa depan dan pekerjaan. Sangat jarang penulis menemui orang tua yang membahas konstitusi dengan anak-anaknya, termasuk Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila. Pertanyaan untuk anak yang sedang sekolah hanya seputaran "Ada PR tidak?" "Sekolahnya susah tidak?" Percakapan dengan tema yang berbobot jarang terjadi.

Sejumlah faktor menjadi penyebab, namun yang sering dijumpai adalah Orang tua yang tidak mengerti, karena memang tidak punya kapasitas di bidang itu. Orang tua hanya menganggap mencari uang dan memenuhi kebutuhan (materi) di dalam keluarga adalah hal terpenting di atas segala hal. Tidak pernah membahas hal seputar kenegaraan dengan anaknya karena memang baginya tidak penting, "Yang terpenting anak saya juara kelas/ anak saya masuk IPA, anak saya kerja di perusahaan A yang gajinya sekian". Ya sedangkal itu saja pengertian yang ada.

Padahal sudah dibuktikan dalam SKD CPNS 2018 yang baru saja dilangsungkan beberapa waktu lalu, anak-anak yang pintar otaknya (mungkin sebatas hitung-hitungan) semacam ini hanya menonjol di TIU (Tes Intelegensi Umum) saja yang soalnya seputaran logika, hitung cepat, dan analisa. Untuk TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) dan TKP (Tes Karakteristik Pribadi) sendiri mengalami terjun bebas! Sedangkan untuk maju, negara ini membutuhkan manusia seutuhnya yang berwawasan kebangsaan, bukan "kalkulator."

Berapa banyak anak-anak yang dididik dengan cara demikian ujung-ujungnya hanya menjadi "mesin pabrik tanpa jiwa", padahal hidup jauh lebih berarti dari sekedar mencari keuntungan yang tidak kekal.

Seperti yang dapat disaksikan di dalam film A Man Called Ahok. Sosok Kim Nam yang mendidik anak-anaknya dengan cara menerjunkan secara langsung anaknya dengan kesulitan dan kebengisan manusia sangat jarang dijumpai saat ini. Anak jaman sekarang kebanyakan lebih diminta untuk main gadget atau masuk ke kamar dan jangan mendengar isi perbincangan orang tua karena dinilai mengganggu/tidak pantas, apalagi mendengar permasalahan orang. Bagaimana anak-anak semacam ini bisa melek dengan kehidupan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun