Mohon tunggu...
Keyboard Warrior
Keyboard Warrior Mohon Tunggu... -

I'll keep writing when nobody reads. I'll keep writing when papers extincts. I'll keep writing when there is no pen and will keep writing when my time has come to write in my Kingdom of Hell.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Imlek Hingga Cap Go Meh, Ini Curhat Perajin Barongsai

22 Februari 2016   13:45 Diperbarui: 22 Februari 2016   13:56 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perayaan Imlek hingga Cap Go Meh di Indonesia selalu identik dengan penampilan tarian Barongsai. Kesenian yang telah diresmikan sejak jaman Gus Dur itu pun menyimpan cerita tersendiri dari para pengrajinnya. Terutama soal sulitnya permodalan dalam hal memproduksi kostum dan alat musik Barongsai. 

Sebut saja Teng Kim Tjoan alias Koh De Baret, pengrajin sekaligus pembina grup tari Barongsai dan Liong asli Tangerang. Dia memulai produksi sejak mantan Presiden Gus Dur meresmikan Tionghoa sebagai salah satu budaya Indonesia. Awalnya, Koh De memulai usaha atas gagasan membuat Liong oleh seorang kawan. Namun dia kurang sepakat dengan ide rekannya itu. Berbekal pengalaman dan ketrampilan secara otodidak, Koh De memutuskan untuk memproduksi Barongsai.   

Koh De menceritakan, Barongsai pertama yang berhasil terjual dibanderol seharga Rp 750 ribu.  Dalam proses produksi, Koh De tidak sendiri. Ada seorang mahasiswa bernama Dodi yang ahli pada proses melukis rupa kepala Barongsai. Coraknya, dapat melalui pembahasan dengan si pemesan atau hanya bergantung pada kreasi sendiri. Selain itu, ada seorang lagi yang bertugas melakukan finishing. Misalnya, mengerjakan pengeleman dan perekatan kertas pelapis dan bagian-bagian lain pada kepala Barongsai. 

”Produksi bikin barongsai sama temen, ya ada yang gagal. Tapi lama kelamaan (hasilnya) lumayan juga,” kata Koh De saat ditemui di kediamannya, Selasa (2/2).   

Soal, bahan baku, mayoritas merupakan produk lokal dan kreasi sendiri. Misalnya, bagian rangka kepala yang di buat dari gabungan anyaman rotan dan bambu dalam negeri. Lalu, kertas pelapis yang digunakan adalah jenis duslax yang juga masih dapat dibeli di toko-toko buku terdekat. Bagian lain seperti mata Barongsai, Koh De memanfaatkan tempat pakan burung yang dicat sedemikian rupa agar menyerupai mata Barongsai. Sementara, produk buatan asli Tiongkok menggunakan bahan kayu. 

Kemudian, pada bagian wajah seperti mata dan mulut biasa terlihat berbulu sebagai dekorasi wajib kepala Barongsai. Untuk mendokrasi bagian tersebut, Koh De menggunakan bulu sintetis atau imitasi dan bulu domba impor. Tergantung dari pesanan.  ”Bulu dombanya aja sekitar 1,5 juta. Itu dari luar negeri, Australia dan China. Jadi, modal paling sedikit 14 juta untuk 10 kulit domba,” kata Koh De.

Proses pembuatan untuk satu set, lengkap bagian badan dan kostum pemain membutuhkan waktu paling lama 2 minggu dan biaya produksi sekira Rp 40 juta. Jika ada pembeli yang memesan Barongsai beserta alat musiknya yang harus diimpor, pengerjaan akan memakan waktu dua bulan dengan biaya produksi sekira Rp 100 juta.

”Karena lakunya cuma waktu Imlek. Dua bulan lama kan. Tapi kita harus produksi terus,” tuturnya. 

Untuk memenuhi kebutuhan modal tersebut, Koh De kerap mengalami hambatan. Dia juga mengaku tidak tahu banyak mengetahui soal mengenai program kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah melalui bank. Terutama, terkait prosedur pengajuan kredit yang dinilai masih berbelit-belit dan harus dalam jangka panjang. Sementara, Barongsai merupakan instrumen kesenian yang tidak digunakan setiap saat. Beruntung, Koh De mendapat dukungan penuh dari keluarga, saudara, dan rekannya.

”Dari dulu saya memang pengen begitu (dapat kredit usaha). Tapi, dari saudara-saudara mendukung saya juga. Jadi misalnya saya kurang duit, pinjem dari sodara,” ujarnya.

Lalu, soal pelanggan, sebenarnya Koh De tidak terlalu pemilih. Mayoritas pesanannya datang dari pelaku seni Barongsai yang pernah memesan produknya. Ada juga beberapa pesanan didapat dari beberapa kolektor non Tionghoa. Namun, dia enggan menerima sembarang pesanan. Sebab, sebagai warga keturunan, Koh De masih menganggap Barongsai adalah kesenian yang sakral. Apalagi, saat sedang tampil pada perayaan keagamaan di klenteng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun