Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intimidasi Pembatalan Film Tan Malaka, Laku Dungu yang Terus Berulang

21 April 2018   20:25 Diperbarui: 21 April 2018   20:38 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Fanpage FB Shelter Utara

Seharian tadi kita bisa mengendus semerbak bau pahlawan. Ibu-ibu berkonde dengan giat-giat produktifnya, warta-kabar di teve, atau keriuhan di media sosial. Tanggal 21 April sejak dulu selalu ibarat simulasi 17 Agustus, hari di mana bangsa Indonesia mengenang masa-masa melawan penindasan---bukan cuma Kartini, atau perempuan-perempuan hebat besertanya, tetapi juga para pahlawan yang punya andil sehingga Indonesia bisa jadi seperti sekarang ini.

Namun, perayaan mengingat masa lalu itu harus tercederai hari ini. Satu kabar membuat hati kita terbanting-banting. Di satu sudut Kota Padang, Sumatera Barat pemutaran film dokumenter 'Mahaguru Tan Malaka' karya Daniel Rudi Haryanto dipaksa batal. Shelter Utara, komunitas tuan rumah, mengaku mendapat sejumlah intimidasi. Mengerikan! Intimidasi ini adalah laku dungu yang diusung dengan gegap-gempita.

Pelarangan dan pembubaran giat-giat bertema Tan Malaka bukan kejadian baru, tetapi kedunguan kali ini serasa lebih pahit. Tersebab ada jejak tangan pemerintah langsung dalam produk film. Dengan dukungan Kemendikbud, 2017 lalu Daniel menapaki jejak Tan Malaka di Eropa. Sekarang film pendek Maha Guru Tan Malaka tengah roadshow untuk penggalangan dana pembuatan film panjangnya.

Ada pula giat-giat lainnya yang jadi sinyal bahwa Kemedikbud mulai memberi ruang bagi produk-produk berbau Tan Malaka. Tahun lalu, novel Tan dengan citra Tan Malaka mengantarkan saya menerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa Kemendikbud.

Hal serupa juga mulai terasa Kementerian Sosial dan DPR RI. Tan Malaka Institute bersama komunitas atau individu-individu yang respect dengan pemikiran Tan Malaka, mulai berhasil mengobati alergi Tan Malaka di institusi pemerintah, di benak publik.

Percaya atau tidak, sekarang giat terkait Tan Malaka sudah kerap dihelat di kalangan pesantren. Diskusinya dimeriahkan oleh kalangan bersarung dan bersorban. Jejak langkah dan pemikiran Tan Malaka memang memiliki irisan dengan gerakan Islam politik di tanah air kita.

Namun, yang paling menyesakan, pelarangan ini terjadi sekitar 6 kilometer dari Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang itu. Ditarik ke atas, pelarangan ini terjadi di ranah Minangkabau, tanah leluhur yang menjadi pondasi awal pemikiran Sang Datuk. Tanah satu suku bangsa yang kesohor dengan budaya diskusi sepekan suntuknya.

Amat kontradiktif. Ketika ranah 'darek' Minangkabau gegap-gempita meluruskan kesalahan sejarah atas sosok Tan Malaka, ranah 'rantau' justru mengaburkannya. Padahal 'rantau' lebih terbuka, lebih metropolis, tersebab ditopang oleh kampus-kampus besar yang membuka ruang dialektika yang lebih dahsyat.

Semestinya, dialektika lebih terbuka di Kota Padang. Mereka yang masih terjebak dalam jerat masa lalu, bisa menghadiri acara itu, menontonnya dengan seksama, bukan menghibur karena orientasinya tentu mencari-cari kesalahan, lalu meledakan penolakannya di forum diskusi. Amat baik apabila aparat keamanan dan pertahanan Indonesia, yang sedang membangun citra ramah dan senang diskusi itu, turut menghadiri giat-giat semacam ini. Apabila barisan yang alergi warna merah, saya mencatat ada sembilan warna dasar merah, mau hadir. Betapa dahsyatnya pertukaran pendapatan yang akan terjadi.

Saya yakin tidak akan ada seorang pun yang akan menghalang-halangi. Malahan tubruk-menubruk itulah yang diharapkan bisa terjadi dalam setiap forum diskusi terkait Tan Malaka---termasuk tubrukan yang paling ekstrim sekalipun. Perkara kita pulang dengan cemberut sebal atau sumringah tercerahkan, itu lain soal.

Pelarangan pemutaran film Tan Malaka ini adalah satu pelajaran, sekaligus sinyal bahwa gerakan meluruskan sejarah Tan Malaka harus diteruskan. Persoalannya bukan cuma pemerintah yang lambat bergeser, tetapi masyarakat yang sudah kadung termamah propaganda masa lalu.

Adalah lumrah apabila kita takut dengan sesuatu yang tidak dipahami. Lebih-lebih apabila takut itu adalah warisan dari masa lalu. Namun, sependek ingatan saya, orang Minangkabau tidak pernah berhenti pada kondisi 'takut'. Orang Minangkabau akan mempelajari rasa takut itu, agar benar-benar bisa meletakannya dalam bilik 'ketakutan yang keliru' atau 'ketakutan yang perlu diakali solusinya'.

 Terserah bilik mana yang akan dipakai selama ada proses penggalian dahulu. Tanpa penggalian, takut itu tak lebih dari laku dungu bukan kepalang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun