Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (2): Seleksi, Peserta yang Tak Diundang

15 Februari 2019   23:31 Diperbarui: 23 Agustus 2019   21:37 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Hendriko Handana

Bagian 2: Seleksi, Peserta yang Tak Diundang

Payakumbuh, April 2003

Ibu Marni, wakil kepala sekolah kami, berjalan tergopoh menyusuri lorong sekolah. Beberapa kelas beliau sambangi. Terlihat mencari beberapa siswa dan siswi.

Jumat itu, hari masih pagi. Bel jam pelajaran pertama baru berbunyi. Konsentrasiku belum begitu terkumpul, seiring belum dicernanya sarapan pagi di kantin sekolah. Bakwan dan lontong sayur masih terasa di lidah. Rasanya ingin nambah. Ah... bel sekolah nyatanya tak mengerti teriakan lambungku.

Suara ketukan pintu kelas membuyarkan fokusku. Ibu Marni kulihat di depan pintu. Sekilas ia berbicara dengan Ibu Tini* yang sedang mengajar di kelas kami.

"Riko, kamu ikut Ibu Marni ke kantor majelis guru, ya!" Bu Tini memanggil namaku.

"Ya Bu", jawabku sambil beranjak tak membuang waktu.

Suasana pelataran majelis guru sedang hening. Perlahan satu per satu siswa-siswi yang dipanggil Bu Marni berdatangan. Pak Fir, salah satu guru hits sekolah kami, menyusul muncul dari balik pintu. Beliau pembina OSIS.

"Sepuluh utusan kan ya, Bu Mar?" suara Pak Fir membuka pembicaraan.

"Benar sudah ada sepuluh Pak Fir"

"Ibu baru dapat telepon dari Dinas Pendidikan. Kalian semua mesti berangkat pagi ini ke kantor dinas. Ada seleksi Paskibraka. Jam 9.00 kalian mesti sudah ada di kantor dinas." Bu Marni menjelaskan maksud beliau kenapa kami ditarik dari kelas pagi ini.

"Kok buru-buru amat, Bu? Kami belum ada persiapan." Beberapa suara sumbang protes serta merta kami layangkan.

"Begitulah. Ibu juga tak paham kenapa kita baru dapat undangan. Dinas bilang sudah kirim undangan beberapa waktu lalu. Tapi ngga pernah sampai di tangan Ibu. Baru saja pagi ini mereka menelepon minta perwakilan."

Sekolah kami memang terbiasa dengan hal demikian. Selaku madrasah di bawah naungan Departemen Agama, bukan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, beberapa kejadian yang sama memang sudah terjadi berulang kali. Kadang 'terlupakan', jika tidak terlalu tepat kalau kami bilang 'dilupakan'.

Mesti demikian, jiwa kami bak pendekar. Situasi apapun kami hadapi dengan tak pernah getar. Bergegas sepuluh siswa utusan MAN 2 Payakumbuh berangkat menuju Dinas Pendidikan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mobil 'Sago' berwarna biru khas jurusan Koto Nan Ampek Payakumbuh yang kami sewa, berhenti tepat di depan Dinas Pendidikan. Lokasinya tidak jauh dari Simpang Benteng yang bersimpang dua menuju Tanjung Pati dan Gelanggang Olahraga Kubu Gadang.

"Sepertinya kita hanya pelengkap, bukan peserta yang diandalkan. Agak sulit menembus seleksi. Senior di panitiapun kita tak punya. Satupun." Begitu kesan pertamaku saat memperhatikan gerak-gerik di arena seleksi.

SMA 1 dan SMA 2 Payakumbuh, dua sekolah favorit yang kala itu menguasai panggung seleksi Paskibraka di kota kami. Mereka berkali-kali mengirim utusan ke tingkat nasional. Utusan di tingkat propinsi jangan ditanya. Mereka langganan tahunan. 

Ada beberapa nama yang berkibar dan sering dibanggakan. Dika Sacend dan Lolanda Mulia di tahun 1999, 4 tahun sebelumnya, adalah perwakilan Payakumbuh terakhir saat itu yang melaju ketingkat nasional. Rinaldi Darma Putra, sebuah nama yang dulu beberapa kali kudengar saat mengikuti kegiatan Pramuka, namun belum pernah bertatap muka. Ia Paskibraka tahun 1994. Setahun sebelumnya ada nama Oddy Medrian, juga utusan Payakumbuh di tingkat nasional di tahun 1993. Semuanya dari SMA 1 dan SMA 2. Jika mereka baca tulisan ini tentu berbunga-bunga mengenang diri mereka menjadi bintang masa lalu.

Seleksi demi seleksi kami lalui. Kami berjuang sendiri-sendiri, menanggalkan nama utusan sekolah masing-masing. Namun tetap saling memberi dukungan.

Siang itu, kontingen kami tersisa 5 orang. Menyusul insiden kesalah informasi. Lima utusan siswa kelas dua mesti meninggalkan arena seleksi. Hanya siswa kelas satu yang berhak lolos administrasi. Kami tersisa yang tersisa, ada aku, Lutfi, Samsi, Iyat dan Ayu. Berangkat tanpa target dan ekspektasi, kami 'nothing to loose'. Tanpa beban namun berjuang angkat senjata sampai titik darah penghabisan. Ah, lebay bin alay...

Semua tahapan kami lalui. Ada wawancara dan motivasi, keterampilan dan pengetahuan baris-berbaris, postur dan tinggi badan, komunikasi berbahasa Inggris, dan kesehatan. Tentu aku kecewa karena tidak ada bidang andalanku yaitu tes ketampanan. Yah, aku kehilangan kesempatan. Haha...

Baris-berbaris di lapangan adalah materi yang mendominasi. Dipimpin oleh Sersan Aidal dari Kodim. Beliau pelatih kharismatik dan legendaris Kota Payakumbuh selama belasan tahun.

Bang Dika, pada kesempatan itu didaulat memberikan contoh aba-aba. Ia mantan komandan kelompok tujuh belas di Istana Merdeka.

"Siaaap... grak"

"Istirahat di tempaaat... grak"

Aba-aba panjangnya membuat kami terhenyak. Seketika tepuk tangan peserta membahana. Suaranya luar biasa.

"Ternyata Paskibraka Nasional mesti bisa teriak seperti ini", pikirku. "Nah... aku bisa apa?"

(bersambung...)

*bukan nama sebenarnya karena penulis tidak ingat guru yang sedang mengajar saat itu

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun