Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (1): Pemantik Misi

13 Februari 2019   11:28 Diperbarui: 23 Agustus 2019   21:41 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Hendriko Handana

Bagian1: Pemantik Misi

Jakarta, 27 Juli 2003


Mentari Jakarta sudah mulai naik. Terik menyengat kulit.

Mobil Atuk Munzir yang kutumpangi melaju dari Matraman. Beruntung mobil tua itu punya AC pendingin. Tidak cukup adem, tetapi cukup membalut pancaran panas matahari.

"Cibubur, Tuk. Taman Wiladatika", jawabku saat Atuk Munzir menanyakan lokasi tujuan kami. Ia sudah tau, hanya coba mengkorfirmasi.

Atuk Munzir kakekku. Sepupu dari nenek, ibunya mama. Sebagai penganut sistem matrilinial di Ranah Minang, kami sesuku seperut. Rambutnya memutih rata sekali. Pertanda usia senja. Sekilas wajahnya miri9p Soedomo, mantan menteri di era orde baru. Semangatnya selalu membara tiap kali diajak bicara, apalagi perihal keluarga.

"Adik Atuk dulu serdadu masa PRRI. Ia tewas tertembak. Kami-kami ini semuanya pejuang. Masa PRRI bergolak, kampung kita Padang Jopang dikosongkan. Dapat ultimatum dari tentara pusat. Sebagian kami menyingkir. Sebagian lagi memilih angkat senjata melawan." Tuturnya dengan bahasa Minang ke-Jakarta-Jakartaan. Ia memang lama merantau di Jakarta. Bekerja di perusahaan listrik milik negara, sebelum menikmati hidup sebagai pensiunan.

Entah sekian kali cerita itu diulanginya sejak aku masih kecil.

"Kak Cupiak kala itu sedang hamil tua. Mamamu lahir saat di pengungsian, di daerah Tolang Maur." Ceritanya tentang nenekku. Kejadian puluhan tahun silam yang masih segar diingatannya.

"Memorinya cukup kuat," pikirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun