Mohon tunggu...
Hendrik Munthe
Hendrik Munthe Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Sadarlah bahwa dalam ketidaktahuan, terbuka lebar ruang bagi segala kemungkinan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebuah Refleksi Kehidupan Kita Saat Ini

21 November 2024   01:48 Diperbarui: 21 November 2024   01:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya sering berpikir tentang kebebasan. Kata itu terdengar indah, seperti udara segar yang mengisi paru-paru, seperti langit terbuka tanpa batas. Namun, semakin saya melihat dunia di sekitar saya, semakin saya menyadari bahwa kebebasan yang kita klaim sebagai hak asasi ini sebenarnya hanyalah ilusi. 

Kita hidup dalam sistem yang, tanpa kita sadari, telah menciptakan bentuk perbudakan modern yang begitu kompleks, tersembunyi di balik kehidupan sehari-hari yang tampaknya normal.

Setiap pagi, saya bangun dengan perasaan yang sama. Rutinitas yang tidak pernah berubah, pekerjaan yang terus-menerus mendesak, dan tanggung jawab yang tak pernah berakhir. Saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup saya, tetapi sering kali saya bertanya-tanya, apakah saya benar-benar hidup? 

Saya terikat pada pekerjaan saya, pada tagihan yang harus dibayar, pada utang yang harus dilunasi, dan pada standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Saya merasa seperti roda kecil dalam mesin besar yang terus bergerak tanpa henti, tanpa pernah benar-benar tahu ke mana mesin ini akan membawa saya.

Saya melihat orang-orang di sekitar saya, dan mereka pun tampak sama. Mereka berjuang untuk bertahan, bekerja tanpa henti, dan mengejar mimpi yang sering kali tidak pernah mereka pilih sendiri. Sistem ekonomi global telah menciptakan ketergantungan yang begitu dalam, sehingga kita tidak lagi menyadari bahwa kita sebenarnya adalah bagian dari rantai besar perbudakan ini. 

Perusahaan-perusahaan besar mendikte cara kita hidup, dari apa yang kita konsumsi hingga bagaimana kita berpikir. Kita dijanjikan kebebasan untuk memilih, tetapi pilihan-pilihan itu sering kali terbatas pada apa yang menguntungkan mereka, bukan kita.

Saya mulai menyadari bahwa waktu saya bukan lagi milik saya. Waktu saya telah dijual, sering kali dengan harga yang murah. Saya bekerja selama delapan hingga sepuluh jam sehari, lima hingga enam hari seminggu, hanya untuk mendapatkan cukup uang untuk bertahan hidup. 

Bahkan ketika saya tidak bekerja, pikiran saya tetap terikat pada pekerjaan itu. Saya memikirkan tenggat waktu, tekanan, dan harapan yang harus saya penuhi. Saya merasa seperti saya telah kehilangan kendali atas hidup saya sendiri.

Kemudian ada tekanan sosial. Kita diajarkan sejak kecil untuk mengejar kesuksesan, untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan yang stabil, dan akhirnya, kehidupan yang "bahagia." Tetapi apa arti kebahagiaan itu? 

Saya sering merasa bahwa kebahagiaan kita telah disandera oleh definisi yang ditetapkan oleh orang lain. Kita membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, hanya untuk merasa bahwa kita termasuk dalam masyarakat. Kita terus berlari, mengejar standar yang selalu bergerak, seperti bayangan yang tidak pernah bisa kita tangkap.

Saya juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada orang-orang di dunia ini yang hidup dalam perbudakan yang jauh lebih nyata. Mereka bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang sangat rendah, sering kali dalam kondisi yang tidak manusiawi, untuk memproduksi barang-barang yang kita konsumsi setiap hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun