Masyarakat dunia hari ini memasuki pusaran tornado yang begitu dahsyat bernama digitalisasi. LocaliQ merilis bahwa dalam hitungan menit secara bersamaan di dunia ada 5,9 juta pencarian di Google, 3,67 juta video yang dilihat di Youtube, 66 ribu unggahan foto dan video yang dibagikan di Instagram, 167 juta video yang dilihat di TikTok, 2,1 juta orang yang beraktivitas di Facebook serta 6 juta orang yang berbelanja online. Kita bisa jadi masuk dalam salah satu pusaran tornado digital ini.
Uniknya kita sudah sangat bergantung dengan aktivitas digital. Ketergantungan ini mungkin mirip dengan ketergantungan orang Indonesia pada nasi yang konon jika belum mengkonsumsi nasi, belum bisa dikatakan sebagai makan. Kita merasa lebih nyaman ketinggalan dompet di rumah daripada ketinggalan handphone kita. Handphone yang tertinggal mungkin akan membuat cemas, karena tidak dapat menghubungi teman-teman, tidak dapat update informasi terbaru hingga tidak dapat bertransaksi dengan cepat.Â
Belum lagi dengan artificial Intelligence yang berkembang begitu cepat. Dulu kita pikir AI hanya akan mengganggu pekerjaan kasar atau paling tinggi pekerjaan berulang yang repetitif seperti administrasi atau akuntansi. Ternyata AI berkembang lebih dahsyat. Dia mampu membuat ide dalam bentuk esai, membuat gambar, mengedit dan menyempurnakan foto bahkan menirukan suara manusia.Â
Respon terhadap AI pun beragam. Ada yang bergembira dengan cepatnya perkembangan AI, ada juga yang mengkhawatirkan kehadirannya. Para ilmuwan gencar membuat berbagai simposium guna mendiskusikan ancaman apa yang akan terjadi pada dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Ahli ekonomi sering berkumpul guna memproyeksikan kemungkinan aktivitas ekonomi ke depan akibat AI. Sementara para konten kreator sedang giat-giatnya belajar memanfaatkannya untuk mempercepat pekerjaan mereka dalam membuat konten di media sosial.Â
Dekan Fakultas Filsafat UGM Ibu Murtiningsih mengutip filsuf Amerika Serikat di bidang filsafat akal budi John Searle. Menurut John Searle mesin kecerdasan tidak dapat mengimitasi kemampuan dalam memahami manusia. Level literasi kecerdasan berada pada level membaca dan menghafalkan pola bukan pada merasakan pengalaman batin manusia. Jadi kualitas kecerdasan yang ditampilkan bisa jadi hanyalah sekedar impresi yang membuatnya terlihat seolah-olah "cerdas".Â
Sebenarnya pemanfaatan AI tidak asing oleh kita. Machine learning yang merupakan bagian dari kecerdasan buatan sering dipakai saat kita menggunakan berbagai aplikasi seperti ojek online, mesin pencarian dan lain sebagainya.
AI bukan hal yang sepatutnya kita takuti secara berlebihan. Namun bukan berarti kita lantas  menyepelekannya. Perlu adanya formulasi pendidikan dan pengajaran baru yang menjadikan manusia dapat beradaptasi dengan kemajuan AI sehingga manusia tidak kehilangan dirinya dan dapat semakin efisien dalam bekerja.Â
Memang kita tidak bisa sepenuhnya pesimis menghadapi AI. Bukan berarti hadirnya AI lalu membuat berakhirnya eksistensi umat manusia. Ada yang menyarankan penggunaan AI untuk mengefisienkan kebutuhan manusia. Ada yang bilang bahwa penulis, konten kreator hingga pekerjaan lain yang ditemani oleh AI akan berkembang dengan baik. Tapi sejauh mana kita dapat memanfaatkan AI tanpa kita kehilangan diri kita?Â
Hadirnya AI mungkin akan sama seperti layaknya kalkulator 20 tahun lalu. Awalnya kalkulator dikhawatirkan membuat anak malas belajar berhitung. Walaupun memang fungsi awalnya adalah untuk mempercepat dan mengefisienkan manusia. Tapi kekhawatiran pada kalkulator lama kelamaan pudar dengan adaptasi manusia yang menggunakan kalkulator seperlunya.Â
Meretas Masa Depan dengan Lembaga Pendidikan yang Adaptif