Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Rumah Subsidi, Nasibmu Kini

6 Februari 2020   13:45 Diperbarui: 7 Februari 2020   23:55 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah (Kementrian PUPR)

Ada beberapa hal yang membuat ingatanku tertuju pada Rikwan untuk menanyakan sesuatu yang terkait pekerjaan kepadanya. Rikwan adalah kawan lamaku yang dari dulu sudah menjadi pimpinan perusahaan developer yang cukup ternama di Kota Jambi.

Tidak butuh lama panggilan teleponku langsung diangkat oleh Rikwan, dan nada bicaranya juga tidak berubah walaupun sudah lebih setahun sejak terakhir kali kami berkomunikasi.

Seperti biasa, kami lalu bertegur sapa dan saling bertukar tanya tentang kabar masing-masing, diselingi candaan-candaan dan gelak tawa yang tidak pernah lepas setiap kali kami berkomunikasi. 

Tidak lama aku langsung masuk pada urusan pekerjaan dengan melempar beberapa pertanyaan yang direspon Rikwan dengan jawaban-jawaban lugas dan argumentatif, selayaknya jawaban seorang praktisi.

Setalah tujuan utama selesai, moment ini lalu kami manfaatkan untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai macam topik selama lebih dari 1 jam.

Ada satu yang menarik dari obrolan kami yaitu tentang kondisi perumahan bersubsidi yang dia dan pengembang lainnya alami beberapa bulan sebelum tahun 2019 berakhir.

Peristiwa yang diungkapkan Rikwan itu terjadi di Bulan September atau Oktober 2019, pada saat kuota FLPP (Fasilias Likuidasi Pembiayaan Perumahan) untuk perumahan subsidi yang disalurkan oleh perbankan sudah habis.

"Untungnya kami sudah agresif sejak awal 2019, bang," ungkap Rikwan, "Jadi pada saat kuota habis hampir semua konsumen kami sudah KPR."

"Berarti bisnismu aman ya Rik?" tanyaku diiringi sedikit rasa khawatir.

"Aman, bang. Tapi memang ada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana kelangsungan bisnis ini untuk tahun-tahun ke depan."

"Maksudnya.., suramkah?"

"Arahnya bukan ke sana, bang, tapi lebih pada programnya. Tahun 2019 kemarin mungkin puncak-puncaknya bisnis perumahan bersubsidi sejak diluncurkan di 2015 lalu. Market-nya masih banyak dan para pengembangnya juga semakin banyak. Peristiwa di bulan oktober kemarin itu baru pertama kali terjadi dan jujur saja banyak yang kaget."

"Iya.., bersabar saja sambil tunggu kuota tahun 2020 keluar," jawabku singkat.

"Kalau kita bisa sabar karena kita punya land bank yang kuat dan bisa meluncurkan produk-produk yang bagus setiap tahunnya. Tapi developer lain belum tentu."

"Seberapa besar masalahnya dengan developer lain, Rik?"

"Besar, bang..." jawab Rikwan sambil tertawa.

"Begitu..?" Terus terang aku menjadi penasaran dengan apa yang tengah terjadi.

"Abang masih ingat dengan Pak Sony, kan?"

"Pak Sony yang dulu bangun cluster-cluster kecil perumahan? Tentu aku ingat," jawabku cepat.

"Nah.., awal 2019 kemarin Pak Sony memutuskan untuk ikut juga bermain di perumahan subsidi. Dia mengambil fasilitas KPL-KYG di Bank BTN dan memulai proyeknya di 2019."

Fasilitas KPL KYG yang dimaksud Rikwan ini adalah salah satu produk perbankan yang khusus diperuntukkan bagi pengembang perumahan bersubsidi.

Umumnya dijalankan oleh Bank BTN, di mana pengembang akan mendapatkan fasilitas pendanaan mulai dari pembelian lahan (KPL - Kredit Pemilikan Lahan), dan sekaligus juga pendanaan untuk membangun konstruksi perumahannya (KYG - atau sering juga kita dengar dengan istilah Kredit Konstruksi).

"Masalahnya," lanjut Rikwan lagi, "waktu Pak Sony menyelesaikan proses konstruksi dan ingin meng-akad-kan konsumennya, kebetulan bertepatan di saat kuota KPR FLPP perbankan habis."

"Nah lho.., terus?"

"Ya begitu bang, mau bagaimana lagi. Sekarang ini aktifitas Pak Sony malah jualan makanan sambil coba menawarkan rumah pribadinya untuk dijual. Dia perlu dana cukup besar untuk menutupi beban bunga pinjaman."

Aku hanya terdiam setelah mendengarkan penjelasan Rikwan ini. Satu kalimat Rikwan selanjutnya malah cukup mengena dihatiku.

"Kita dulu pernah melewati masa-masa sulit, bang, dan kalau sekarang kita harus mendengar ada kawan yang sedang menghadapi masa sulit seperti dulu, rasanya bagaimana ya.."

***

Apa yang dialami oleh Pak Sony di atas memang merupakan kasus ekstrim; bisa jadi tidak banyak pengembang menghadapi situasi yang sama seperti yang dihadapi Pak Sony beberapa bulan sebelum tiba di penghujung 2019.

Namun, menjadi jelas bahwa peristiwa habisnya kuota FLPP tempo hari tidak hanya berdampak pada tertundanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan rumah bersubsidi, tapi juga menimbulkan "korban" di pihak para pengembangnya.

Jika dirunut dari awal, kondisi ini dimulai ketika pemerintah memutuskan untuk mengurangi kuota FLPP perumahan bersubsidi di tahun 2019 menjadi hanya Rp 7,1 triliun untuk pembangunan 74.000 unit rumah dan sudah habis sebelum bulan Oktober.

Sebelumnya di 2018, pemerintah memberikan kuota FLPP sebesar 283.000, yang terdiri dari 225.000 unit FLPP dan 58.000 unit Subsidi Selisih Bunga (SSB). Dari jumlah tersebut, realisasinya adalah sekitar 260.000 unit.

Permasalahan yang terjadi di 2019 akan terakumulasi di 2020, dimana pemerintah hanya mengalokasikan kuota FLPP sebesar Rp 11 triliun untuk menyediakan pembiayaan bagi 102.500 unit rumah. 

Angka ini memang lebih besar dari 2019, namun perlu dicatat bahwa kuota ini sebagian akan digunakan untuk menutupi kekurangan kuota di 2019 lalu.

Beberapa pengamat memprediksi bahwa sisa kuota yang bisa digunakan untuk proyek pembangunan di 2020 hanya sekitar 80.000 unit saja, sementara permintaan masih tetap tinggi dimana angkanya diprediksi masih diatas 200 ribu unit.

Problem lain lagi adalah di sisi perbankan yang menjadi penyalur FLPP tersebut. Sejak program ini digulirkan, faktanya Bank BTN selalu tampil sebagai ujung tombak dengan memborong sebagian besar kuota FLPP. 

Pada tahun 2020, pihak Bank BTN hanya mengambil kuota sebesar 44 ribu unit (silahkan koreksi jika angka ini tidak akurat) yang akan dicadangkan untuk diserap secara maksimal oleh pengembang yang memanfaatkan fasilitas KPL KYG milik mereka.

Alasannya jelas, Bank BTN perlu menjaga kesehatan cashflow mitra pengembang mereka untuk menekan resiko kredit bermasalah yang berpotensi berasal dari para pengembang ini.

Lantas, bagaimana dengan nasib para pengembang lain? Yang pasti, semua pengembang akan berlomba-lomba untuk secepatnya mengambil kuota FLPP sehingga diprediksi pada pertengahan 2020 sudah akan habis lagi.

Satu hal yang perlu disadari bersama adalah program rumah bersubsidi merupakan sektor bisnis properti yang paling bergairah pada saat ini. Banyak dari para pengembangnya yang sudah menjadi spesialis dengan hanya fokus pada pembangunan perumahan subsidi saja.

Mereka sama sekali tidak mau menyentuh KPR komersil (non subsidi) yang situasinya justru berkebalikan dengan KPR subsidi. KPR komersil belum mampu untuk sekedar menggeliat sejak terpuruk di 2014 lalu.

Kue KPR komersil ini sebagian besar hanya dinikmati oleh para pengembang besar terutama mereka yang sedang menggarap proyek hunian berskala kawasan.

Menjadi dilematis untuk para pengembang; di satu sisi bisnis properti membutuhkan sustainability sehingga mereka tidak mungkin bekerja ala part timer, 6 bulan bekerja lalu 6 bulan berikutnya jadi pengangguran.

Di sisi lain, para pengembang rumah bersubsidi juga tidak banyak memiliki opsi untuk melakukan diversifikasi usaha. Pilihan yang paling logis buat mereka, dalam jangka panjang, adalah tetap fokus pada pembangunan rumah murah (berada di range harga jual 100-200 juta), apapun bentuk programnya, mau itu di subsidi oleh pemerintah atau tidak.

Tinggal pemerintah yang harus berpikir mencari solusi bagaimana menyelesaikan persoalan kekurangan kuota FLPP di tahun ini dan memberi kejelasan tentang kelangsungan program untuk kedepannya. 

Akan menjadi sebuah kekonyolan besar jika pemerintah membiarkan kuota FLPP habis begitu saja tanpa melakukan langkah apapun karena dampaknya akan lebih besar dibandingkan yang terjadi di 2019.

Selain itu, pemerintah melalui kementrian PU-PR juga sudah seharusnya membuat mekanisme dan aturan main yang lebih rinci mengenai pendistribusian kuota FLPP dan melaksanakan sosialisasi secara menyeluruh kepada para pengembang.

Artinya, para pengembang sudah selayaknya mengetahui sejak awal apakah rumah-rumah yang mereka bangun akan bisa diserap oleh program FLPP atau tidak, sehingga tidak akan kita dengar lagi bahasa "kuota habis" di masa-masa mendatang.

Kita semua tidak ingin apa yang terjadi pada Pak Sony akan terulang lagi pada Sony-Sony lain di tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang.

Salam hangat.

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun