Mohon tunggu...
Hendra Dipta Wardana
Hendra Dipta Wardana Mohon Tunggu... Buruh - Bukan Penulis

Menyukai air dan angin.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Donasi dan Penyelewengan Dana Umat

7 Juli 2022   18:17 Diperbarui: 7 Juli 2022   18:30 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak lama ini, pembicaraan publik kembali hangat oleh obrolan mengenai lembaga sosial yang diduga telah menyelewengkan sebagian dana, yang didapat dari hasil donasi warga. Kabar tersebut bermula dari 'Tempo', yang memuatnya dalam sebuah laporan. 'Tempo' menyoroti bahwa ada kejanggalan karena diduga petinggi ACT memiliki gaji yang dinilai tidak etis, yaitu sekitar 250 juta rupiah perbulan untuk petinggi ACT. 

Memang, untuk ukuran orang yang berpartisipasi dalam tugas-tugas sosial, yang justru seharusnya memakai uang sewajarnya, apalagi itu niatnya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan dan didapat dari hasil sumbangan/donasi, rasanya gaji 250 juta rupiah perbulan itu tidak lah wajar dan tidak masuk di akal. 

Alih-alih merasa memiliki tanggungjawab untuk kembali menyalurkan dana kepada yang berhak, partisipan dalam kelembagaan sosial tersebut justru malah seperti mengabaikan dan cenderung menjadikan kelembagaan sosial seperti laiaknya perusahaan.

ACT sebetulnya masuk ke dalam kategori lembaga sosial, bukan perusahaan. Karena statusnya lembaga sosial atau filantropi, orang-orang yang ada di dalam kelembagaan tersebut dari mulai bawahan hingga ke atasan, harusnya mereka sudah siap jika sewaktu-waktu tidak mendapatkan imbalan. Kecuali jika memang sangat membutuhkan, itu pun harusnya mengambil uang dana dengan sewajarnya atau secukupnya.

Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan kelembagaan lainnya yang memang aktif di dalam bidang yang sama. Aksi-aksi seperti itu sebetulnya memang sangat membantu jika dijalankan dengan jujur dan memiliki prosedural yang benar.

Saya mengakui bahwa solidaritas di kalangan masyarakat cukup lah besar, apalagi tingkat solidaritas terhadap sesama dengan keyakinan yang sama. Maka tidak heran jika upaya untuk mengumpulkan dana donasi/sumbangan sangat lah mudah didapat jika dengan memakai embel-embel keagamaan.

Tetapi sayangnya, peluang-peluang tersebut kerapkali malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk memajukan kalangannya sendiri. Yang berujung justru pada penodaan, dan perusakan citra kalangannya sendiri. Lagi-lagi ini masalahnya soal betapa buruknya sumber daya manusianya itu sendiri.

Masyarakat di sini, nampaknya memang masih enggan untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran di dalam hidup, ditambah dengan literasi yang memang terbilang masih sangat buruk, sehingga sulit untuk bersikap kritis apakah nantinya dana yang ia sumbangkan itu akan dikelola dengan baik dan disalurkan dengan tepat.

Kasus-kasus serupa mirip ACT, sebetulnya bukan terjadi hanya di kalangan atas (skala besar), di bagian kalangan paling bawah (skala kecil) pun masih kerap sering terjadi. Misalnya, orang yang meminta-minta sumbangan atas nama yayasan/keagamaan dengan iming-iming pahala. Dan itu masih laris manis banyak orang yang beri. 

Padahal, belum tentu juga orang yang memberi sumbangan dengan sukarela itu, kehidupannya lebih nyaman dari orang-orang yang meminta sumbangan pakai embel-embel yayasan/keagamaan tersebut.

Jika dikasih tahu "jangan kasih jika tidak tahu asal-usul lembaga atau orangnya, itu uangnya nanti bisa saja mereka makan sendiri", jawabannya malah "enggak apa-apa, yang penting kan kita sudah ngasih dan biar nanti pahala hitung-hitungannya". Mereka minta seenaknya atas nama yayasan/keagamaan, apakah mereka peduli? Rasanya, kebanyakan tidak. 

Sebetulnya tidak masalah jika memang ingin memberi sumbangan dengan niat yang memang benar-benar ingin memberi, tetapi juga harus dibarengi dengan sikap kritis. Siapa yang memegang kelembagaan tersebut? Apakah pengelolaannya baik? Jika tidak terlalu memahami, baiknya mungkin mending urungkan niat. Atau bisa juga dengan memberi sumbangan langsung ke orangnya. 

Tidak perlu jauh-jauh, mulailah dengan berdonasi atau membantu orang-orang yang berada disekeliling yang jelas-jelas terlihat oleh mata sendiri. Boleh dengan pihak kedua, tapi, ya, harus dengan pihak kedua yang memang benar-benar jujur dan transparan. Jangankan memberi sumbangan ke pihak kedua. 

Memberi langsung ke orang yang mengemis dengan pakaian compang-camping saja, kita masih sering tertipu. Banyak pengemis menukar recehan hasil mengemisnya di minimarket, dan sehari bisa dapat ratusan ribu. Sementara kita yang bekerja mengeluarkan banyak tenaga, belum tentu bisa mendapatkan uang perhari sebanyak itu.

Ini bukan soal urusan kejam dan tidak kejam, ini urusannya mengenai mental penduduk yang maunya cuma hidup enak tetapi tidak mau berusaha dan mencari kerja. Kalau selamanya begitu terus, perlu sampai kapan negeri ini bisa menjadi penduduk yang mandiri secara mental dan finansial? Perlu sampai kapan kita menanamkan sikap mental korban dan menjadi pembohong? 

Orang-orang yang meminta sumbangan atas nama yayasan/keagamaan dengan menyalahgunakannya, dan pengemis yang menjadikan aktifitas mengemisnya itu sebagai lahan pekerjaan, mereka semuanya adalah pembohong.

*** 

Negeri ini nampaknya bukan kekurangan orang-orang pintar. Negeri ini hanya kekurangan orang-orang jujur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun