Mohon tunggu...
Hendra Cahyadi
Hendra Cahyadi Mohon Tunggu... PNS -

Manusia yang ingin terus berkembang\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Hermeneutika" Politik?

22 Agustus 2016   08:32 Diperbarui: 22 Agustus 2016   08:46 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional.

Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.

Ilmu hermeneutika bisa kembali diperluas cakupannya kalau kita bicara masalah politik di dunia termasuk di Indonesia. Mengapa?? Karena seringkali kita dibuat bingung oleh pernyataan maupun tindakan para politisi terutama di Indonesia. Pernyataan dan tindakan mereka di masa lalu sering kali tidak sinkron dengan realita sekarang. Istilahnya “pagi bilang tempe, siang bilang tahu dan sore bilang pisang”. Karena itu kita perlu ilmu “Hermeneutika” untuk bisa memahami realitas dari tindakan dan pernyataan para politisi.

Sebagai contoh kita tentu masih ingat ada parpol yang beberapa waktu lalu begitu mati-matian menolak kenaikan BBM. Parpol ini bahkan sampai mengeluarkan buku putih tentang pengelolaan negara tanpa mencabut subsidi. Anggota parpol ini juga sempat walk out dari sidang sebagai protes kenaikan BBM. Saat ini parpol yang sama justru mendorong adanya kenaikan BBM bahkan banyak kadernya sempat menyatakan yang intinya “kenapa BBM tidak dinaikan dari dulu-dulu”.

Contoh lain adalah ketika seorang calon menyatakan bahwa kalau dia terpilih, maka pasukannya akan lebih ramping dibanding pasukan periode sebelumnya. Selain itu ia berjanji untuk tidak bagi-bagi jabatan. Faktanya ketika ia sudah terpilih jadi pemimpin, jumlah pasukannya sama saja dengan periode sebelumnya. Mengenai janji untuk tidak bagi-bagi jabatan, semua orang (mengakui atau pura pura tidak lihat)  sudah bisa menyadari bahwa hal tersebut hanya merupakan impian belaka.

Ada juga sekelompok orang yang menyatakan haram hukumnya dipimpin oleh seorang perempuan. Namun di lain waktu sekelompok orang ini malah merayu rayu seorang ibu di Jawa Timur untuk mau dicalonkan sebagai pemimpin di propinsi lain.

Paling fenomenal adalah ketika dulu sempat ada iklan tentang “Katakan tidak pada korupsi”. Seiring berjalannya waktu, sebagian besar pemeran iklan tersebut akhirnya dipenjara karena menilap uang rakyat.

Yang terbaru, ada seorang politisi berjanji akan mencalonkan diri sebagai calon independen. Namun kenyataan menunjukkan ketika dukungan secara independen sudah memenuhi syarat ternyata ia lebih memilih ikut parpol. Selain itu yang bersangkutan sudah memproklamirkan diri sebagai orang bersih dan jujur. Ternyata ia memilih bergabung dengan sebuah partai yang dipimpin oleh seorang mantan ketua dewan yang mundur gara-gara kasus yang mencerminkan ketidak bersihan dan ketidak jujuran.

Masih banyak contoh dimana ucapan dan tindakan seorang politisi di masa lalu bertolak belakang dengan kenyataan saat ini. Namun dengan pendekatan “Hermeneutika” mungkin kita bisa memahami realita apa yang dihadapi oleh para politisi tersebut di masa lalu. Dengan pendekatan tersebut maka kita bisa

  • Mengetahui kondisi politik, ekonomi dan sosial masyarakat di masa lalu yang membuat kita bisa memahami apa yang mendorong para politisi untuk mengumbar janji sesuai dengan keadaan saat itu.
  • Memahami kondisi psikologis rakyat di masa lalu. Dengan demikian kita bisa paham kenapa para politisi menjanjikan atau mengucapkan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Ya, karena secara psikologis itulah yang “ingin didengar” rakyat bukan “yang harus didengar” rakyat.
  • Memahami kondisi parpol dan para politisi itu sendiri. Dengan melihat kondisi parpol dan politisi di masa lalu yang erat hubungannya dengan tingkat keterpilihan, maka kita bisa mengerti tindakan parpol maupun politisi dimasa lalu adalah sebagai upaya untuk meningkatkan keterpilihan mereka.
  • Memahami sejauh mana rakyat bisa melupakan dan atau memaafkan ucapan dan tindakan para politisi. Dengan demikian mungkin kita bisa paham kenapa para politisi gemar membual dan obral janji, karena toh pada akhirnya rakyat akan lupa pada janji-janji manis para politisi.

Pada akhirnya kita sebagai rakyat harus bisa memaklumi bahwa benar adanya politisi dan parpol itu selalu konsisten. Ya, konsisten dengan segala kepentingannya. Kita harus paham tidak ada benar salah di dalam politik. Kita harus sadar pada kenyataan bahwa dalam politik seringkali “tujuan menghalalkan cara”. Kesimpulannya, dalam politik semuanya benar. Kalau semuanya benar, lalu siapa yang salah?? “Yang salah adalah yang sudah menghalalkan segala cara, namun masih gagal mencapai tujuan politiknya”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun