Komentar Rhoma Irama dalam berita Kompas online yang berjudul “Rhoma Irama: Kampanye SARA dibenarkan” amat disesalkan. Sebagai figur publik yang cukup dikenal masyarakat, Rhoma seharusnya sadar bahwa setiap kata dan tindakannya dapat dilihat sebagai ‘restu’ untuk menindas kaum minoritas baik dari segi etnis, ideologi maupun agama.
Kebebasan dan keterbukaan dalam alam demokrasi bukan berarti kebebasan mutlak. Demokrasi pada hakikatnya memberikan ruang kebebasan untuk setiap perbedaan dalam masyarakat dan kesempatan yang sama. Dalam hal ini mayoritas (baik dari sisi etnis, politik dan agama) bukan berarti seorang pemimpin harus ‘mewakili’ mayoritas. Indonesia berdiri berazaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tujuannya jelas: untuk menjamin persatuan dan pesamaan hak bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa mayoritas bukan berarti otomatis menjadi suara Tuhan dan menjadi minoritas bukan berarti tidak layak diperhitungkan atau tidak punya suara. Demokrasi yang sehat memungkinkan seseorang yang memiliki karakter, komitmen dan kemampuan yang mumpunin untuk tetap berkesempatan memimpin bangsanya terlepas dari latar belakangnya.
Menyandang gelar pemimpin masyarakat Jakarta yang majemuk berarti sang pemimpin harus dapat menjadi pemimpin bagi masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Jawa, Tionghoa, Sunda, pengamen, pengusaha, buruh dan lain lain.
Kalau suatu hari abang mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta saya tidak akan menilai abang dari agama maupun suku abang. Saya akan menilai abang dari karakter, track record kinerja masa lalu, program kerja dan tentu saja kemampuan abang mengandeng seluruh masyarakat Jakarta yang multikultural.