Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dua Puluh Tahun Lalu, 13 Mei 1998

12 Mei 2018   20:13 Diperbarui: 12 Mei 2018   20:21 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Asap kebakaran dari Harco Glodok terlihat dari lantai atas rumah sekitar Asemka. Dari luar jendela terlihat beberapa orang mendorong troli berisi kulkas dan beberapa perabotan. Tidak lama terdengar suara teriak minta tolong dari jalan. Kepala penjaja kue berdarah Tionghoa yang memang biasa keliling sekitar ruko bocor dihajar massa. Sejak itu saya tidak pernah melihat si encek lagi.

Hari berikutnya, segerombol massa mulai berkumpul sekitar rumah kami. Saya ingat sempat mengambil pisau dapur saat itu. Beruntung tiba-tiba seorang tentara datang melepas tembakan ke udara hingga massa bubar.

Selang sekitar sebulan, Pancoran penuh pedagang pedang samurai dan tasser. Beberapa teman tidak masuk sekolah. Sebagian karena rumahnya ludes dijarah dan dibakar massa, sisanya mengungsi sementara ke Malaysia atau Singapura.

Sebelum kejadian Mei 98, saya tidak pernah merasa 'Cina'. Orang tua saling berkomunikasi dalam bahasa mandarin tapi saya merasa 100% orang Indonesia. Kami merayaan Imlek tapi negeri Tiongkok terasa jauh sekali. Itu pertama kalinya saya mempertanyakan ke-Indonesia-an saya dan merasa 'kita Tionghoa Indonesia' berbeda dengan 'mereka pribumi Indonesia'. 

Tentu saja teman-teman pribumi dan muslim juga banyak menjadi korban. Juga banyak muslim pribumi menampung tetangga mereka yang Tionghoa Indonesia. 

Sebagian media dan tokoh politik lebih suka memperingati Mei 98 sebagai akhir Orde Baru dan memperingati mahasiswa Trisakti yang gugur memperjuangkan reformasi ketimbang menyorot tragedi berdarah akibat kerusuhan. Sampai hari ini tidak ada yang diadili, malah tokoh yang diduga kuat terlibat mencalonkan diri sebagai presiden RI dalam pemiliu mendatang.

Sangat naif berharap pemerintah sekarang mengusut tuntas kasus ini. The political cost is just too great. Menyeret pelaku ke meja hijau sama saja bunuh diri politik (kemungkinan nyawa juga melayang). Pemerintahan Gus Dur membawa identitas Tionghoa Indonesia menjadi mainstream dengan menjadikan imlek sebagai hari libur nasional.

Meski demikian perjalanan membumikan Bhinneka Tunggal Ika harus tetap berjalan selama NKRI berdiri. Negara maju multikultural seperti Australia sekalipun juga tidak kebal dari tokoh politik seperti Pauline Hanson yang gemar memainkan isu SARA. 

Kita harus bertanya kenapa tabloid hoax Obor Rakyat memilih mengisukan Jokowi keturunan Tionghoa bukan Arab atau etnis lainnya? 

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, mereka ingin masyarakat yang tadinya harmonis tidak ada rasa curiga jadi bertanya memang ada yang salah kalau etnis Tionghoa? Kedua, mereka ingin memperkuat dan menvalidasi sentimen negatif mereka yang sudah lama benci dengan Tionghoa.

Hidup berbaur tanpa melihat suku dan agama dan saling menghormati adalah hal paling dasar yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa dalam meminimalisir ledakan kerusuhan rasial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun