Melepas pekerjaan mapan demi mengejar cita-cita mengajar bela diri mungkin kedengeran heroik. Kenyataannya, beberapa instruktur saya memiliki pekerjaan full time sebagai pengacara dan manajer. Mereka bekerja dari jam 9 pagi hingga 5 sore dan mengajar dua kali sehari seminggu dari pukul 7 sampai 8 malam. Passion mereka terasa sekali saat mengajar, tapi mereka tidak bodoh melepas itu semua mengejar sentimen passion. Â
Klub bela diri sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun, karena jam mengajar yang cenderung malam, rata-rata murid berusia pertengahan dua puluh tahun keatas dan sudah bekerja. Dari sekian banyak instruktur dalam organisiasi, setahu saya hanya Grandmasters mengajar full time!
Realitasnya hanya sedikit praktisi bela diri (selain atlet professional) yang seratus persen cari makan dari mengajar. Tidak ada salahnya memiliki impian mengajar full time suatu hari, selama dilakukan dengan cerdas.
Membangun bisnis dari nol butuh kerja keras, lupakan saja berbisnis penuh waktu kalau tidak sanggup bekerja 40 jam penuh waktu ditambah 8 jam sampingan.
Tempat latihan gratis/murah
Untuk mengatasinya, berlatihlah diruangan terbuka seperti taman. Meminta ijin aula atau lapangan sekolah juga bisa menjadi win-win solution. Instruktur bisa mendapat murid baru sekaligus promosi dan sekolah ‘menyediakan’ ekstra kulikuler. Ide ini saya dapat dari satpam sekolah merangkap instruktur bela diri. Namun sebagai orang luar sekolah, tidak ada ruginya bertanya.
Harus dibawah naungan organisasi resmi
Memiliki aliran bela diri sendiri memang menggiurkan. Dari proses sertifikasi, kurikulum, turnamen, iuran members, regulasi organisasi, semua dikuasi sendiri. Mungkin ini salah satu sebab beberapa bela diri pecah sepeninggal pendiri. Murid berbakat yang pernah berguru langsung dan memiliki interpertasi sendiri membuka aliran baru. Contoh: meskipun Karate awalnya berasal dari pulau Okinawa (Jepang), saat ini memiliki berbagai aliran dari Shotokan, Kyokushin, Goju-ryu, Shito-ryu, Shorin-ryu dan seterusnya.
Ada juga menciptakan keahlian bela diri karena kondisi linkungan yang memaksa seperti Capoeira. Konon budak-budak Afrika yang dibawa ke Brazil saat itu menyamarkan serangan bela diri lewat tarian agar tidak menarik perhatian penjajah Portugis. Dari dalam negeri, kerasnya lingkungan Haji Achmad Dradjat memaksanya menjadi petarung jalanan hingga lahir aliran yang kita kenal sebagai ‘Tarung Derajat’.
Kalau Anda tidak pernah berguru langsung sama pendiri bela diri (atau setidaknya pada keturunannya) dan tidak memiliki latar belakang unik seperti Haji Achmad Dradjat, sebaiknya sekolah bela diri tetap dibawah naungan organisasi resmi. Murid yang merasa dibohongi sekolah abal-abal pengobral sabuk merupakan penghancur reputasi tercepat. Dibawah organisasi resmi, Anda bisa fokus membangun basis murid karena organisasi pusat sudah menetapkan kurikulum.
Mengapa Anda melakukan ini?