Mohon tunggu...
Hendra Kumpul
Hendra Kumpul Mohon Tunggu... Lainnya - Ro'eng Koe

Sedang Belajar Menulis ndakumpul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Corona, Tuhan, dan Nietzsche

31 Maret 2020   18:01 Diperbarui: 18 April 2020   17:41 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Frederiks Nietszche. Sumber: Pinterest

Virus corona atau lazim disebut COVID-19 telah membawa setumpuk persoalan kronis yang menghantui serta mengganyang manusia hampir di semua aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, dan lain-lain. Di balik itu, ada hal menarik yang kini lagi ngetrand di medsos, yakni postingan netizen terkait keberadaan Tuhan dan virus corona. Postingan-postingan tersebut seakan mempolarisasi netizen dalam dua kubu, yakni kubu yang mengajak warga untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan kubu yang membujuk warga untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan. Kubu pertama menganalisis corona sebagai kutukan bagi manusia karena telah menenggelamkan Tuhan ke dalam lautan keegoisan semata. Kontradiktif dengan kubu ini, kubu kedua melihat corona dan akibat yang ditimbulkannya sebagai bukti apatifnya Tuhan terhadap manusia. Tuhan seolah-seolah tak lagi menghiraukan manusia. Tuhan seakan-akan menikmati penderitaan manusia.

Hemat saya, sikap ekstrem seperti ini berakibat pada ambruknya keyakinan akan keberadaan Tuhan. Impak lanjutnya ialah manusia menjauhkan ibadah kepada Tuhan dan hanya yakin pada kemampuannya sendiri.

Jauh-jauh hari sebelumnya, Nietzsche (filsuf eksistensialisme) jatuh pada sikap yang sama, tapi lebih berbahaya dan akut. Nietzsche meninggalkan Tuhan. Bahkan secara sporadis, Nietzsche menggaungkan kematian Tuhan. Adagiumnya yang terkenal "God is dead" (Tuhan sudah mati) membahana di lorong-lorong kuliah, gereja, pasar, dan tempat-tempat lainnya. Penafsiran terhadapnya pun beragam. Namun dalam tulisan ini, saya menafsir Nietzsche sebagai seorang ateis murni yang menyuruh manusia untuk meninggalkan Tuhan karena Tuhan telah mati atau mungkin sama sekali tak pernah ada dan karena itu, manusia mesti bertumpu pada kekuatannya sendiri.

God is Dead dan Ubermensch

Nietzsche mewartakan kematian Tuhan melalui Zarathusta, tokoh imajinatif ateisme. Zarathusta merepresentasikan Nietzsche atau bahkan ia adalah Nietzsche itu sendiri (Paul Carus, 1914: 48). Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menulis "The God who beheld everything and also man: that God had to die! Man cannot endure it that such a witness should live" (Tuhan yang telah melihat segalanya, dan juga manusia melihat segalanya; Tuhan itu harus mati! Manusia tidak tahan untuk membiarkan saksi seperti itu hidup) (Sudarmidja dan Ahmad Santoso, 2010: 411).

Dengan demikian, Nietszhe secara amat jelas menolak kehadiran Tuhan dan mengagungkan keberadaan dan keagungan manusia. Kira-kira apa latarbelakang Nietzsche menolak kehadiran Tuhan? Jika kita menelisik tulisan A. Setyo Wibowo dalam bukunya: Gaya Filsafat Nietzsche, khususnya dalam pembahasan riwayat hidup Nietzsche, bisa disimpulkan bahwa penyebabnya ialah kesakitan fisik dan psikologis yang berkepanjangan yang pada akhirnya berujung pada kematiannya, keterpisahannya dari iman kekristenan yang diwariskan keluarga secara turun-temurun, serta keterputusan hubungan afektif dengan para sahabatnya (Wibowo, 2017: 67-69). Selain itu, penyebab lain ialah kebobrokan moral gereja khususunya cara hidup rohaniwan/i pada abad pertengahan hingga pada masa Nietzsche hidup (Haryanto, 2018: 140).

Nietzsche juga mengeritik ritus-ritus kristiani, misalnya pengakuan dosa. Bagi Nietzsche, praktik pengakuan dosa dalam kamar pengakuan membiasakan orang untuk mencari kebenaran sebenar-benarnya dengan menyingkirkan segala kekeliruan (Wibowo, 2017: 354).  Akibatnya, manusia dibiasakan untuk mencari kebenaran yang paling abslout dan ilahi sehingga mengesampingkan realitas hidup yang menyapanya sehari-hari. Dengan kata lain, manusia mengasingkan diri dari kehidupan riil demi mencari Tuhan.

Berangkat dari persepsi seperti ini, Nietzsche kemudian beranggapan bahwa agama-agama merekayasa dan mengonstruksi keberadaan Tuhan kepada penganutnya. Menurut Nietzsche, agama melalui kekuasaanya senantiasa mengajar bahwa hidup kita mesti selalu terarah pada Tuhan melalui kemiskinan dan ketakberdayaan agar Tuhan yang menyempurnakannya.

Bagi Nietzsche, anggapan seperti ini melemahkan manusia secara fisik dan psikis. Karena itu, Tuhan mesti dibunuh dan dimatikan. Pengganti-Nya ialah ubermensch. Dalam bahasa Indonesia, ubermensch diterjemahkan secara beragam, yakni manusia super, manusia unggul, dan adimanusia yakni manusia yang melampui kemanusiaannya yang berada di dalam jejuji ajaran religius dan moral zamannya  (Basis, 2000: 44). Bisa disimpulkan bahwa ubermensch yang dimaksudkan Nietzsche ialah manusia yang bebas dan percaya penuh akan kemampuan dirinya sendiri tanpa intervensi situasi di luar dirinya, seperti ajaran religius, moral, dan Tuhan.

Corona dan Tuhan setelah Nietzsche

Akibat langsung dari produk pemikiran Nietzsche seperti yang dikemukakan di atas ialah adanya paham nihilisme. Nihilisme berasal dari bahasa latin, nihil, yang dalam bahasa Inggris disebut nothing yang berarti tidak ada, tiada, dan kososng. Nihilisme menyatakan perang terhadap segala macam intitusi masyarakat yang ada, khususnya niali-nilai moral dan nilai-nilai religius (wibowo, 2017: 385). Hal ini menyebabkan manusia bertindak secara bebas, tanpa adanya pedoman pasti yang menuntun tindakan mereka. Impaknya ialah kebanyakan manusia, khususnya yang menganut dan mempraktikan pemikiran Nietzsche, tak lagi menganggap Tuhan sebagai titik pangkal kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun