Tepat pada hari peringatan Sumpah Pemuda di tanggal 28 Oktober 1945, Surabaya bergolak sejadi-jadinya. Kali ini adalah aksi dari kaum muda yang tergabung dalam berbagai elemen perjuangan kota.Â
Tidak hanya di barisan perjuangan reguler (TKR), baik di BPRI, Laskar Rakyat, Hizbullah, hingga laskar pemuda lainnya turut lebur dalam pertempuran merdeka atau mati.
Masih dalam kronik pertempuran 4 hari 4 malam di Surabaya. Kesatuan Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya, yang terdiri dari para pemuda Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku pun melumatkan diri dalam kesatuan tempur penantang Sekutu. Ada pula yang berasal dari Sumatera, dengan nama Laskar Sriwijaya dengan kekuatan sekitar 700 pemuda.
Peralatan tempur para pemuda ini juga terbilang tidak main-main, sebuah panser dan bren carrier dimiliki oleh kesatuan PRI. Dengan kekuatan persenjataan yang juga ditunjang oleh pasukan TKR dan BKR lainnya. Beserta para pemuda yang tergabung dalam serikat buruh dan para pelajar pejuang (TRIP), yang konon ahli dalam membuat berbagai jenis senjata lokal.
Pasukan PRI ini terlibat baku tembak dengan tentara Inggris-Gurkha di sekitar RS. Dharmo sejak sehari sebelumnya. Baku tembak ini meluas hingga daerah Kayun, Timpang, Ketabang, dan Jembatan Merah, seperti yang diungkap oleh Roeslan Abdulgani (1947), dalam buku "100 Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia".
Perbedaan etnis ataupun suku tidak membuat konsolidasi antar pemuda pejuang menjadi terhambat. Justru dengan semangat muda, para pejuang muda mampu bangkit melawan para tentara Sekutu di beberapa lokasi yang berbeda. Dibawah koordinator Mayjen Yonosewoyo dari TKR, para pemuda berjibaku angkat senjata dengan bekal persatuan dan kesatuan untuk kemerdekaan.
Diantaranya juga ada yang meleburkan diri dengan barisan tentara reguler dalam TKR Drg. Moestopo, ataupun laskar BPRI Bung Tomo. Walau dengan prinsip dan tujuan perjuangan yang sama, tanpa ada batas perbedaan suku ataupun agama.
Pada tanggal 28 Oktober 1945, para pemuda pejuang ini sepakat untuk mendeklarasikan sumpah kebulatan tekad untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Sumpah setia yang diangkat dari peringatan Hari Sumpah Pemuda yang tengah berkumpul dan berjuang di front Surabaya, seperti ungkap Asmadi (1985) dalam buku "Pelajar Pejuang".
Sumpah kebulatan tekad pada akhirnya dapat dilaksanakan pada tanggal 9 November 1945 kemudian. Tetapi, momentum Sumpah Pemuda pada hari itu, dikatakan sebagai langkah awal upaya konsolidasi massal antar pemuda pejuang. Seakan ada yang membuat para pemuda bergerak untuk membentuk sebuah aliansi perjuangan.
Sebelumnya, peristiwa di penjara Kalisosok dapat dikatakan sebagai puncak amarah para pemuda Surabaya. Kapten Shaw dengan aksi kasarnya telah membebaskan para tawanan asing yang ditawan oleh para pemuda. Nugroho Notosusanto (1985) dalam buku "Pertempuran Surabaya", menjelaskan bahwa hal ini telah melanggar janji Sekutu dalam mengurus perihal tawanan perang.