Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjelang Malam Neraka di Medan Area

9 Oktober 2022   05:30 Diperbarui: 10 Oktober 2022   13:48 4275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pasukan pejuang Medan Area (arsip Perpusnas)

Hari itu, Selasa, tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu datang ke Medan dibawah komando Brigjen T.E.D. Kelly. Armada besar yang dilengkapi persenjataan berat ini datang bersama rombongan pasukan NICA-Belanda. Alih-alih memberikan bantuan terhadap masa transisi, faktor utama kedatangan mereka tidak lain guna membebaskan tawanan perang Belanda selama masa peralihan.

Yap, selama masa pendudukan Jepang banyak tentara dan penduduk sipil Belanda ditangkapi dan di penjara. Begitupula pada masa peralihan kekuasaan Jepang kepada Indonesia, banyak diantara mereka yang masih mendekam di penjara, seraya menunggu pasukan pembebas dari Sekutu tiba.

Bukan sekedar untuk membebaskan para tawanan, para tentara Belanda yang rencananya dibebaskan tersebut, ternyata ada agenda untuk dipersenjatai kembali. Hal ini dipastikan dengan agenda tentara NICA untuk menguasai kembali lokasi-lokasi ekonomis yang dimiliki Belanda sebelum Jepang berkuasa di Indonesia (Ahmad Tahir, Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan).

Beberapa waktu sebelum kedatangan Sekutu bersama NICA, sebenarnya pasukan Belanda sudah datang secara bertahap ke Medan. Salah satu diantaranya adalah Letnan Westerling, yang tenar dalam peristiwa genosida di Sulawesi kelak. Sejak bulan September 1945, ia bersama beberapa pasukannya telah melakukan kegiatan intelijen dengan memerakan kekuatan rakyat Indonesia.

Informasi yang kemudian berarti bagi kedatangan Sekutu. Nyaris tidak ada perlawanan, dan pihak Indonesia memberi pasukan Sekutu tersebut untuk tinggal di Hotel de Boer, Hotel Grand, Hotel Astoria, dan lain-lain, semua dijamu layaknya pejabat penting. Satu brigade militer dari Divisi India ke-26 juga diberikan ruang terbuka untuk menempatkan peralatan tempur mereka.

Hal ini terjadi karena para pejabat di Sumatera Utara tidak mengetahui secara pasti tujuan dari kedatangan mereka. Faktor transisi kekuasaan mungkin yang menjadi penyebabnya. Minimnya komunikasi dan kurangnya informasi selama pendudukan Jepang, sekiranya dapat dijadikan alasan bahwa para pejuang hanyalah fokus terhadap kemerdekaan yang baru saja diraih Indonesia.

Ancaman yang hadir justru diketahui secara intuisi oleh Ahmad Tahir bersama mantan serdadu Gyugun lainnya. Kelak mereka akan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Medan, guna mengisi kekosongan kekuatan militer Indonesia disana. Walau secara abstrak belum dapat dikatakan siap untuk bertempur. Lagi-lagi karena faktor persenjataan yang minim tentunya.

Terlebih, pihak Jepang masih berkuasa walau hanya bertahan dalam tangsi militer dan gudang senjatanya. Beberapa aksi perebutan senjata dari pihak Jepang juga tidak terjadi secara menyeluruh, lantaran kekuatan militer Indonesia masih belum mumpuni. Kecuali dari para mantan anggota Gyugun, yang sedianya telah memiliki senjatanya masing-masing.

Hingga waktu petang, kendaraan-kendaraan berat Sekutu dipersiapkan di berbagai lokasi strategis sekitar jl. Bali (kini jl. Veteran). Seolah secara tengah melebarkan garis pertahanan hingga kota Medan dapat dipatau secara strategis militer. Beberapa pasukan pejuang sebenarnya telah menyadari kemungkinan terjadinya konflik bersenjata. Tetapi urung, karena lagi-lagi ketiadaan informasi.

Konfirmasi yang dilakukan oleh pejabar Sumatera Utara justru hanya dapat informasi bahwa akan ada tim dari RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Interness), yang hendak mengurus para tawanan esok hari. Baik di daerah Pematang Siantar, Berastagi, hingga Rantau Prapat. Hal ini pun konon dilakukan sesuai persetujuan Gubernur M. Hassan.

Walau secara administratif tidak ada yang memberi informasi terhadap rakyat dan pejuang. Dalam hal ini, massa tentu saja melihat kegiatan Sekutu pada awalnya seolah biasa saja. Bahkan hampir tidak ada rasa curiga dan waspada di masyarakat yang beraktivitas di sekitar jl. Bali.

Maka tidaklah heran, mobilisasi kekuatan tempur Sekutu kelak dapat semakin besar. Sedangkan di pihak Indonesia, sementara hanya mampu memantau perkembangan yang dapat dilihat secara langsung di sekitar markas Sekutu di jl. Bali. Mereka semua bersiaga, siap bertindak dan bergerak walau tanpa arah dan komando. Masa bersiap pun dimulai di Medan sejak tanggal 9 Oktober 1945.

Mobilisasi pasukan pejuang secara cerdik pun dilakukan diam-diam dari luar kota Medan. Walau sentralisasi kekuatan utama tidak berada di dalam kota. Khususnya sejak mereka mengetahui bahwa Sekutu hadir bersama dengan tentara NICA-Belanda. Barisan-barisan pemuda mulai diakomodir untuk dimobilisasi guna mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

Naluri tempur untuk mempertahankan kedaulatan bangsa yang merdeka seakan hadir tanpa instruksi. Khususnya menjelang malam neraka di Medan Area kelak. Senjata seadanya pun telah dipersiapkan oleh para pejuang, walau hanya berbekal bambu runcing dan golok semata. Terlebih ketika para pejuang mengetahui RAPWI justru mempersenjatai interniran Belanda di keesokan harinya.

Semoga tulisan ini dapat menjadi abstraksi dalam melihat secara menyeluruh peristiwa pertempuran Medan Area. Konon peristiwa yang memakan hingga ratusan korban jiwa (rakyat dan pejuang) ini adalah yang terhebat dan terbesar di Sumatera sejak masa kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun