Walau secara administratif tidak ada yang memberi informasi terhadap rakyat dan pejuang. Dalam hal ini, massa tentu saja melihat kegiatan Sekutu pada awalnya seolah biasa saja. Bahkan hampir tidak ada rasa curiga dan waspada di masyarakat yang beraktivitas di sekitar jl. Bali.
Maka tidaklah heran, mobilisasi kekuatan tempur Sekutu kelak dapat semakin besar. Sedangkan di pihak Indonesia, sementara hanya mampu memantau perkembangan yang dapat dilihat secara langsung di sekitar markas Sekutu di jl. Bali. Mereka semua bersiaga, siap bertindak dan bergerak walau tanpa arah dan komando. Masa bersiap pun dimulai di Medan sejak tanggal 9 Oktober 1945.
Mobilisasi pasukan pejuang secara cerdik pun dilakukan diam-diam dari luar kota Medan. Walau sentralisasi kekuatan utama tidak berada di dalam kota. Khususnya sejak mereka mengetahui bahwa Sekutu hadir bersama dengan tentara NICA-Belanda. Barisan-barisan pemuda mulai diakomodir untuk dimobilisasi guna mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.
Naluri tempur untuk mempertahankan kedaulatan bangsa yang merdeka seakan hadir tanpa instruksi. Khususnya menjelang malam neraka di Medan Area kelak. Senjata seadanya pun telah dipersiapkan oleh para pejuang, walau hanya berbekal bambu runcing dan golok semata. Terlebih ketika para pejuang mengetahui RAPWI justru mempersenjatai interniran Belanda di keesokan harinya.
Semoga tulisan ini dapat menjadi abstraksi dalam melihat secara menyeluruh peristiwa pertempuran Medan Area. Konon peristiwa yang memakan hingga ratusan korban jiwa (rakyat dan pejuang) ini adalah yang terhebat dan terbesar di Sumatera sejak masa kemerdekaan.