Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jenderal Soedirman Menepis Disharmonisasi Tentara

14 September 2022   05:30 Diperbarui: 14 September 2022   05:28 2130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soedirman dan Oerip Sumohardjo (monitortoday.com)

Ternyata telah satu minggu berlalu justru banyak kabar besar yang sepertinya menarik untuk diulas. Salah satunya adalah perihal wacana disharmonisasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi, saat ini penulis tidak akan membahas wacana "ndak jelas" tersebut dalam sudut pandang opini mainstream. Melainkan melalui kisah sejarah yang pernah dialami pula oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dahulu kala.

Sepertinya masyarakat umum memang tidak selalu paham bagaimana rantai komando itu saling berkaitan, bersifat instruktif, serta memiliki simpul yang kuat, namun tidak tampak. Maka wajar jika menimbulkan multitafsir bagi beberapa kalangan. Yap, sejatinya simbol solidaritas TNI tidak perlu dibicarakan ke area publik, karena hal itu adalah ruang private yang tidak dapat dibuka.

Seperti halnya ketika Jenderal Soedirman bergerilya, ya kali diceritakan kepada masyarakat dimana keberadaannya. Padahal jelas, rantai komando beliau adalah tegas adanya, dan saling berhubungan dengan berbagai matra di panggung gerilya, walau tidak tampak. Bahkan mampu mengkomandoi berbagai laskar bersenjata lainnya.

Nah, bila ditinjau kisah sejarahnya lebih jauh, maka tentu yang paling menarik adalah ketika prosesi pemilihan Panglima TNI pertama. Lantaran kala itu banyak banget pimpiman kesatuan tempur, maka Pemerintah mengupayakan diadakannya pemilihan Panglima TNI, tatkala Supriyadi sudah dipastikan gugur dalam pertempuran.

Kala itu Pemerintah menunjuk Supriyadi, pemimpin perlawanan PETA Blitar terhadap Jepang sebagai Panglima TNI. Tetapi urung disahkan, karena Supriyadi diketahui "hilang", usai perlawanan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945.

Tepatnya di Gondokusuman, Jogjakarta, pada 12 November 1945. Kurang lebih sebulan setelah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Kolonel Halland Iskandar meminta Oerip Sumohardjo (KA. Staf TKR) untuk memilih seorang Panglima TKR/TNI. Tentu untuk mengkomandoi seluruh kekuatan bersenjata Republik.

Sejak BKR berdiri, banyak terjadi perebutan senjata hingga menimbulkan berbagai persoalan, lantaran banyak terbentuk pula kelompok atau laskar bersenjata yang berada diluar komando Pemerintah. Peralihan BKR menjadi TKR tentu untuk menyelesaikan polemik ini. Begitupula ketika penentuan pimpinan tertinggi TKR/TNI.

Dapat dibayangkan, matra-matra yang terbentuk berdiri tanpa komando, apalagi pada setiap matra/kesatuan ada pemimpinnya. Bayangkan saja, dalam suatu pertemuan tersebut, semua pemimpin militer yang kala itu bersenjata, harus memilih seorang pemimpin.

Ala-ala cowboy tentu rapat dengar pendapatnya. Bila gak terima, bisa saja dor! adalah jawabannya. Terlebih, ketika pejabat publik (Pemerintahan) yang hadir pun tidak dianggap sebagai peserta rapat. Maka mungkin saja, banyak pula beredar perspektif negatif lain dalam menilai proses pemilihan seorang Panglima.

Dalam rapat tersebut kemudian diusulkan nama-nama tokoh militer dari beragam latar belakang yang berbeda. Tentu saja memiliki kepentingan dan kekuatan bersenjatanya masing-masing. Seperti, Oerip Sumohardjo; Soedirman; Sri Sultan Hamengkubuwono IX, M. Pardi, Nasir, Wijojo Surjo Kusumo, Suryadi Suryadharma dan GPH Purwo Negoro.

Bisa dibayangkan dong, bagaimana kerasnya konflik adu kekuatan dan kepentingannya. Hingga dalam tahap akhir hanya ada nama Soedirman dan Oerip Sumohardjo. Nah, diakhir konstelasi pemilihan, akhirnya nama Soedirman yang memiliki suara tertinggi. Auto dipilih menjadi Panglima TKR/TNI oleh pimpinan sidang. Lantas bagaimana dengan Oerip?

Soedirman yang memiliki usia jauh lebih muda memanggil Oerip dengan kata Kangmas, pun sebaliknya. Justru bukan konflik yang tampak nyata dipenghujung sidang penetapan Panglima, melainkan suasana akrab yang justru saling memberi dukungan. Alih-alih berakhir dengan pertikaian atau sikap dingin, malah nuansa kekeluargaanlah yang ditunjukkan.

Oerip Sumohardjo juga ditetapkan sebagai KA Staf pendamping Soedirman. Kenapa kok justru konflik bisa redam? Hal ini terjadi ketika Soedirman telah mengetahui perolehan suaranya jauh melebihi Oerip, seketika itu, Soedirman menawarkan kepada Oerip untuk mengambil alih hasil suara yang diperolehnya. Soedirman hendak memberikan jabatan Panglima kepada Oerip, tetapi hal itu ditentang oleh peserta rapat.

Pada moment itulah Oerip Sumohardjo tersenyum bahagia melihat sikap Soedirman. Jiwa seorang ksatria, pemimpin, dan Panglima Perang, sudah melekat dalam dirinya. Dalam beberapa waktu memang terlihat antara Soedirman dan Oerip saling bertukar pikiran, khususnya mengenai militer. Nah, dilain waktu diantara keduanya justru tidak kerap bertemu satu dengan lainnya.

Hal ini tentu sudah menjadi tugas dan wewenangnya masing-masing, dan bukan justru dianggap sebagai disharmonisasi. Apalagi dalam berbagai peristiwa pertempuran, yang lebih kerap turun justru Soedirman di palagan juang, ketimbang Oerip, yang memang spesialisasinya dalam hal administratif.

Baik diantara para pimpiman militer, memang telah terbagi dalam tugasnya masing-masing. Apalagi medan juang yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia. Semua harus mampu berbagi peran, demi menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia.

Seperti itulah kiranya, baik Soedirman, Oerip Sumohardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Gatot Soebroto, ataupun A.H. Nasution, yang dibilang jarang saling bertemu dalam moment terbuka. Para punggawa militer kala itu sudah paham, bagaimana bahayanya, jika semua pemimpin militer berkumpul di sebuah acara bersama. Bisa-bisa di bom Belanda jika ketahuan.

Sifat kerahasiaan justru kerap dibuktikan dalam sikap kekeluargaan diantaranya. Terlebih ketika Oerip Sumohardjo dikabarkan sakit dan meninggal pada November 1948. Semua pejuang berkabung, layaknya kehilangan seorang bapak. Termasuk Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Sekiranya ini sekedar bukti solidaritas antar pejuang yang ditakdirkan bersama-sama walau berbeda matra/kesatuan. Tentunya hal ini telah menjadi doktrin, bagi setiap prajurit TNI hingga kini. Bahwa kesatuan dan persatuan adalah segala-galanya bagi perjuangan menjaga NKRI, bukan justru malah dijustifikasi. Semoga bermanfaat.

*Mandalawangi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun