Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terus Mencari Widji Thukul

26 Agustus 2022   06:00 Diperbarui: 26 Agustus 2022   06:51 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Widji Thukul (dok. Rossylin Van Der Bosch)

Sejak era Reformasi berlangsung pada tahun 1998, masih banyak persoalan yang sekiranya belum kunjung usai hingga kini. Khususnya tentang mereka yang hilang dan belum kembali. Termasuk diantaranya adalah Widji Thukul, seorang seniman aktivis yang memang belum diketemukan keberadaannya, sejak 24 tahun yang lalu.

Ya, seorang seniman rakyat yang lahir di Solo pada 26 Agustus ini memang kerap menyuarakan kritiknya terhadap pemerintahan kala itu, melalui jalur seni. Melalui syair-syair sajak ataupun puisi kritis yang memang berangkat dari keresahan masyarakat terhadap realitas sosial dan politik, ia berteriak.

Bukan untuk kembali membuka persoalan lama, melainkan hanya menuntut jawaban. Sebagai tanggung jawab sosial daripada hak asasi manusia, yang telah "dihilangkan". Ketika itu memang, berbagai unsur kritik adalah hal tabu "demi" stabilitas politik. Lantaran krisis sosial dan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997 sudah mulai diambang resesi.

Melihat fenomena politik yang tidak berpihak melalui kebijakan-kebijakannya, maka Widji Thukul bersama rekan aktivis lainnya, kerap melakukan penyadaran politik kepada masyarakat. Penyadaran politik Widji Thukul melalui area seni dan sastra, ternyata "konon" mampu merubah cara pandang rakyat kepada penguasanya.

Melalui Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER), Widji Thukul kerap "menggugat" kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil dan merugikan masyarakat. Banyak diantara karya sastranya yang bernuansa kritis menjadi "senjata" para aktivis setiap melakukan demonstrasi. Seperti, yang tertulis pada puisi Peringatan, dengan penggalan syair, "Maka hanya ada satu kata. Lawan!".

Tidak sekedar kepada para penguasa, begitupula dengan para intelektual yang dianggapnya tidak peduli dengan persoalan-persoalan sosial. Seperti puisi Dibawah Selimut Kedamaian Palsu, yang tenar dengan penggalan syair, "apa guna banyak baca buku, bila mulut kau bungkam melulu...".

Karya-karya sastranya memang dianggap "agitatif" pada masa itu. Tapi itulah fakta yang dapat disampaikan melalui kata-kata. Tidak melalui angkat senjata, seperti pada masa pergolakan di Republik dahulu kala. Seperti kata Pram, "kata-kata adalah senjata".

Tetapi tidak hanya bersenjatakan kata, sebagai seorang aktivis jalanan, Widji Thukul kerap mengakomodir kaum-kaum marjinal kota dan desa untuk melakukan protes-protes secara terbuka. Tentunya demi menuntut hak mereka, sebagai manusia-manusia yang dilindungi hak asasinya. Seperti pada aksi buruh pabrik Sritex, dan lainnya.

Pria pemilik nama asli Widji Widodo, sebelumnya, sempat tinggal di Pontianak sekitar bulan Agustus 1996. Hal ini dilakukan olehnya, karena sejak peristiwa 27 Juli (Kudatuli) 1996, ia telah menjadi target penangkapan. Aktivitasnya dalam pengorganisasian massa-lah dianggap sebagai latar belakangnya.

Begitulah Widji Thukul dengan jalan ninjanya. Seakan kedekatannya dengan rakyat jelata hingga kaum buruh, adalah rumah kedua yang tidak dapat dilepaskan. Pada pertengahan tahun 1997, usai namanya masuk sebagai daftar pencarian aktivis, disela aktivitasnya, ia kerap menceritakan kerinduannya kepada keluarga. Ya tentu saja kepada rekan seperjuangannya ia curhat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun