Gak mau nyerah, para pemuda langsung meminta pendapat dari Hatta, minimal dapat meyakinkan untuk memberi dukungan kepada para pemuda. Tetapi jawaban Hatta pun sama dengan Soekarno. "Jika saudara merasa sanggup membacakan Proklamasi, silahkan...", ucap Hatta.
Alhasih, para pemuda "balik kanan" untuk kembali merancang siasat. Suasana bulan Ramadhan kala itu memang tengah panas-panasnya. Tetapi bukan panas karena cuaca, melainkan faktor upaya memproklamirkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Semua pihak nyaris turut serta terlibat mempersiapkan detik-detik Proklamasi.
Walau kemudian muncul opsi "penculikan" atas dasar "mengamankan" Dwi Tunggal Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.Â
Mereka berpikir, jika Soekarno dan Hatta tetap di Jakarta, maka pengaruh Jepang dapat melemahkan upaya Proklamasi. Maka ditentukanlah Rengasdengklok sebagai lokasi "pengasingan", karena disana ada Syudancho Singgih (PETA) yang siap memberikan pengamanan.
Tepat pukul 04.00, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta langsung "diculik" oleh para pemuda. Mereka bersama keluarga dibawa ke Rengasdengklok, sebagai siasat Proklamasi darurat yang telah dipersiapkan.Â
Tetapi, tetap saja upaya para pemuda nihil alias gak berhasil. Bahkan selama seharian disana, Soekarno dan Hatta lebih kerap menasehati para pemuda untuk tidak egois membawa masa depan bangsa.
Pada sebuah perdebatan, Soekarno kembali mengecam para pemuda. "Revolusi berada di tangan kami! Jika Bung tidak mau revolusi sekarang...", belum usai mereka bicara,Â
Soekarno langsung memotong debat tersebut, "Lalu apa?", teriak Soekarno. Para pemuda langsung kicep lagi disana, kena double kill mereka. Sambil ngedumel, dan bingung harus pakai cara apalagi untuk merayu Soekarno.
Dilain lokasi, Sutan Syahrir yang mendengar peristiwa penculikan seketika marah. Ia pun meminta para pengikutnya untuk segera menemukan Soekarno dan Hatta. Karena baginya, hanya Soekarno dan Hatta yang sanggup dan berhak membacakan Proklamasi. Sepertinya Sutan Syahrir sudah paham betul, karena berbagai upayanya juga gagal membujuk Soekarno dan Hatta. Apalagi mereka?
Dari peristiwa ini kita tentu dapat ambil hal unik dan menarik yang sekiranya dapat kita simak. Bahwa masyarakat Indonesia, hanya mau melihat Soekarno dan Hatta yang menjadi simbol pemimpin bangsa, dan bukan yang lainnya.Â