Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peristiwa Kudatuli Dulu dan Kini

27 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 27 Juli 2022   10:44 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peristiwa 27 Juli/Kudatuli (Kontras.org)

Mungkin kisah ini dapat memberikan kita ulasan sejenak mengenai peristiwa yang "konon" telah menghilangkan aktivis legend Widji Thukul. Tetapi tidak hanya Thukul, karena kurang lebih ada sekitar 23 orang dinyatakan hilang kala itu, 5 orang meninggal, bersama 149 orang lainnya yang dinyatakan terluka pada insiden tersebut.

Kerusuhan dua puluh tujuh J.uli atau lebih dikenal dengan Kudatuli ini terjadi pada tahun 1996 silam. Ada kalangan yang menyebutnya sebagai peristiwa sabtu kelabu, dengan nuansa kerusuhan besar-besaran terjadi di Jakarta. Dimana banyak masyarakat yang menjadi korban, baik secara moril atau materil.

Peristiwa ini ditengarai sebagai akibat dari "upaya" Pemerintah yang kala itu, tidak menghendaki Megawati Soekarnoputri terpilih dan menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kala itu memang, suara dari PDI tengah mengalami kenaikan yang signifikan sebagai partai politik yang dianggap "pro rakyat".

Seperti kita ketahui, pada masa itu, tengah hangat-hangatnya suasana politik di Indonesia. Terlebih ketika gelombang inflasi secara perlahan mulai menerpa dan diakhiri dengan terjadinya krisis moneter. Maka, banyak kalangan yang kemudian memaknai peristiwa Kudatuli sebagai bagian dari proses terjadinya Reformasi pada tahun 1998.

Sebelum peristiwa Kudatuli, pergesekan politik di internal PDI semakin panas, ketika massa para pendukung Megawati Soekarnoputri berhasil menandingi Soerjadi. Melihat situasi ini, ada semacam "rekayasa" yang dilakukan untuk menggembosi dukungan terhadap Megawati Soekarnoputri. Yakni dengan cara mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Medan, pada Juni 1996.

PDI kubu Soerjadi menyatakan KLB di Medan sebagai proses yang sah dalam mekanisme organisasi. Dengan dukungan Pemerintah, untuk menetapkannya melalui mekanisme hukum. Nah, auto terjadi dualisme kepemimpinan dong?

Menyikapi hal ini, massa pendukung Megawati Soekarnoputri akhirnya mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau kini akrab dikenal dengan PDI-P pada tahun 1999. Seiring berjalannya Reformasi, PDI Soerjadi secara perlahan membubarkan diri dari kancah perpolitikan kala itu.

Tetapi, peristiwa Kudatuli, sudah menjadi rekam jejak sejarah yang sekiranya dapat kita ingat. Bahwa persoalan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari pelanggaran HAM ini, seyogyanya tidak terjadi lagi dikemudian hari.

Stefan Eklof dalam sebuah jurnal menerangkan bahwa, "adalah hal yang aneh, bila PDI mengadakan kongres, setahun sebelum Pemilu". Karena menurut Eklof, Megawati Soekarnoputri mempunyai proyeksi bagus dengan datangnya dukungan dari daerah-daerah untuk memimpin PDI kala itu.

Kini, sayangnya peristiwa Kudatuli belum mendapatkan apresiasi yang positif untuk penyelesaian dan pengungkapannya. Khususnya terhadap para korban yang meninggal dan hilang. Maka wajar bila Kontras menganggap peristiwa ini sebagai kejahatan kemanusiaan. Tentu selalu ada harapan bagi kita semua dalam memaknai peristiwa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun