Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Peluru-Peluru Perlawanan Kata Chairil Anwar

26 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 31 Juli 2022   13:11 3109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Potret Chairil Anwar

Siapa yang tidak kenal dengan sastrawan yang satu ini? Yang karya-karyanya kerap dibacakan hingga kini, baik dalam konten cinta ataupun perjuangan. Ya, dia adalah Chairil Anwar, seorang "jagoan sastra" yang lahir pada 26 Juli 1922 di Medan. Sebelum hijrah ke Batavia (Jakarta kini) pada tahun 1940, Chairil adalah anak semata wayang dari seorang Bupati Indragiri, bernama Toeloes.

Sejak tinggal di Batavia, bakat Chairil Anwar dalam dunia sastra mulai berkembang pesat. Perkenalannya dengan berbagai tokoh sastra seperti H.B Jassin, Sang Paus Sastra Indonesia itu lho, membuat dirinya semakin disegani oleh para penyair Angkatan 45. Tidak hanya kepada dunia sastra, tetapi juga kepada dunia perjuangan.

Arjmin Pane kerap menolak karya-karya Chairil yang dinilai dapat membahayakan pergerakan, pada zaman pendudukan Jepang. Kala itu, Arjmin Pane adalah seorang pemimpin redaksi Panji Pustaka, yang kerap terkena "sensor" oleh pihak Jepang. Yakni, puisi "Aku", yang membahas mengenai perjuangan seseorang pejuang.

Selain itu ada karya lainnya, seperti "Maju" dan "Diponegoro" yang dibuat pada tahun 1943. Maka wajar, bila pasukan Jepang kerap memata-matai gerak-geriknya sebagai seorang sastrawan pejuang selama mereka berkuasa di Indonesia.

Kedekatannya dengan Jassin kerap memberinya ruang untuk terus dapat berkarya. Pada aspek ini, Jassin memang sangat mendukung Chairil dalam berbagai kegiatan yang dapat memberinya ruang untuk berekspresi. Walau diantara keduanya pernah terlibat baku hantam, karena Jassin mengganggap Chairil melakukan plagiat karya sastra.

Selain dengan Jassin, Chairil kerap bergabung dengan seniman lainnya, seperti Rivai Apin, Sudjojono, Affandi, Usmar Ismail, hingga Tino Sidin. Mereka sudah layaknya saudara yang saling memberi dan berbagi satu dengan lainnya. Terlebih ketika Chairil tengah membutuhkan bantuan, baik apapun itu.

Perseteruan dengan Jassin nyatanya tidak berjalan lama, karena Jassin kerap mendapati Chairil duduk paling depan untuk sekedar menonton pertunjukkan dirinya. Kendati Jassin juga mengetahui, bahwa Chairil kerap berlatih angkat besi, untuk sekedar dapat membalas Jassin suatu saat nanti.

Tetapi, apa yang terjadi justru diluar nalar, pada suatu waktu Chairil datang ke rumah Jassin, tetapi bukan justru baku hantam yang terjadi, melainkan sebuah kata singkat, "Jassin, aku lapar...", ungkapnya. Padahal Jassin sudah bersiap untuk baku hantam ketika itu.

Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1948, Chairil kembali fenomenal melalui launching karya "Karawang Bekasi". Keterlibatannya dalam berbagai perkumpulan pejuang, sekiranya telah sampai pada kebulatan tekadnya untuk menghimpun peluru melalui kata-kata. Walau karya-karya bertema perjuangan telah kerap dibuatnya.

Jika mengingat Belanda, tentu akan membangkitkan memorinya tentang peristiwa Pembantaian Rengat, pada tahun 1949. Orang tua Chairil, Toeloes, adalah salah satu korban dari sikap represif tentara Belanda disana. Seolah rasa jengkelnya kepada tentara kolonial sudah sampai ke hatinya yang semakin berkecamuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun