Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mochtar Lubis Menggugat Kita!

2 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 2 Juli 2022   06:16 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mochtar Lubis (Wikipedia)

Ingatlah! Dari dalam kubur, suaraku akan lebih keras daripada di atas bumi, begitu kira-kira Tan Malaka berucap. Tak lain adalah sosok dari seorang jurnalis senior Mochtar Lubis, yang dari kata-katanya, semakin keras terdengar hingga saat ini.

Tepat pada hari ini, tanggal 2 Juli, Mochtar Lubis wafat. Tetapi, melalui tulisan ini, sekiranya bisa mewakili suara-suara lantang beliau yang dapat menjadi otokritik terhadap kita semua, manusia-manusia Indonesia.

Tentu tidak mudah bagi kita untuk melakukan intropeksi diri terhadap sikap dan perilaku keseharian yang sudah menjadi habit masyarakat kita. Bagitu pula saya, selaku penulis, yang tidak pernah luput dari kesalahan. Dimana kemudian, Mochtar Lubis secara detail menjelaskan perihal persoalan-persoalan manusia Indonesia.

Pada tahun 1977, Taman Ismail Marzuki menjadi saksi nyata kritik yang begitu lantang terdengar oleh penguasa dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Problematika sosial yang terjadi kala itu, menurutnya tidak lepas dari karakter manusia Indonesia itu sendiri.

Proyeksinya hanyalah satu, yakni perubahan sifat dan karakter diri, sehingga dapat menjadi gelombang besar bagi perubahan bangsa. Sekiranya ada enam kritik yang dikemukakan oleh beliau terhadap kita semua kala itu;

1. Munafik

2. Enggan dan segan bertanggung jawab

3. Bersifat dan berperilaku feodal

4. Percaya takhayul

5. Artistik atau berbakat seni

6. Berwatak lemah karakternya

Bila kita melihat enam poin kritik diatas, maka hanya ada satu yang tersisa dari sifat manusia Indonesia yang positif. Yakni, artistik dan berbakat seni. Walau artikulasi yang dapat menjadi pendekatannya hanya ada dalam ruang-ruang seni dan karya budaya.

Tetapi, lima poin lainnya sudah seharusnya dapat menjadi ajang refleksi buat kita semua. Kecenderungan bersifat munafik dan bermental lemah atau menerima, sekiranya lahir dari berbagai pengalaman yang beliau dapatkan. Terlebih bila membahas sisi feodalistik yang menjadi kultur bangsa ini hingga kini.

Bukan hanya persoalan sosial, tetapi kritik terhadap ruang metafisik juga menjadi sorotan tajam beliau ketika memproyeksikan masa depan bangsa. Menjadi sesuatu hal yang aneh, tatkala kita lebih percaya terhadap pawang hujan daripada terhadap lembaga yang bertanggung jawab atas cuaca.

Bahkan sampai dibuat viral, area-area mistis yang malah semakin marak dalam lingkup publik. Hal ini tentu akan mengikis karakter artistik yang positif tersebut. Hanya demi konten berbalut misteri, animo publik seakan terperdaya dalam dimensi-dimensi gaib yang tidak realistis.

Bahkan hal ini kerap menjadi headline berita-berita yang populer dikalangan masyarakat. Sungguh sesuatu yang telah diprediksi oleh beliau tatkala mengutarakan kritiknya dahulu.

Sekiranya upaya modernisasi tidak akan berjalan dengan baik, apabila sisi-sisi takhayul tetap melekat dalam kebiasaan manusia Indonesia. Walau ini sebatas kritik terhadap pola perilaku sosial kita yang masih relevan hingga kini, tidak ada salahnya bila hal ini dapat menjadi proyeksi dan refleksi diri bagi kita semua.

Walaupun akan tetap menjadi pro kontra bagi masyarakat Indonesia saat ini. Sekiranya semacam itulah yang dapat penulis abstraksikan, yang juga menjadi kritik diri bagi penulis. Agar tidak terjadi justifikasi atas apa yang telah dikemukakan melalui enam poin diatas.

Maestro dalam bidang jurnalistik dan sastra ini tentu sudah tidak diragukan lagi kiprahnya. Bahkan jeruji besi juga telah beliau rasakan ketika berani menentang penguasa pada tahun 1956. Dimana beliau baru dibebaskan pada tahun 1966, setelah terjadinya peralihan kekuasaan.

Bicara Mochtar Lubis adalah sebuah jalan panjang perjuangan yang tiada akhir, seperti yang beliau kisahkan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.

Tahun 2004, beliau wafat karena sakit yang dideritanya. Sebagai seorang jurnalis dan sastrawan hebat, beliau telah meninggalkan banyak kenangan yang selalu dapat menjadi kritik bagi kita semua. Tak lain karena rasa cintanya terhadap bangsa Indonesia, guna meraih setiap harapannya di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun